Sejak awal mendirikan PT Paperocks Indonesia, Catur Jatiwaluyo fokus
melakukan pemasaran. Fokus utamanya saat itu membidik pasar domestik.
Sebagai pendatang baru, tak mudah bagi Catur membangun kepercayaan
konsumen.
Namun ia pantang menyerah. Pelan-pelan ia melakukan branding agar
produknya dikenal luas di pasar dalam negeri. Kerja kerasnya ini tidak
sia-sia. Terbukti, daerah-daerah yang sebelumnya sulit ditembus kini
mulai dikuasainya.
Salah satunya di Surabaya, Jawa Timur. Pada 2002, sama sekali tidak
ada penjualan Paperocks di Kota Surabaya. Namun di tahun 2013, penjualan
langsung melonjak. "Di 2013, penjualan setahun hampir Rp 2 miliar,"
ujarnya.
Catur mengaku, strategi pemasaran yang dilakukannya sederhana saja.
Ia hanya membawa beberapa sampel kemasan sejumlah produk kemasan yang
telah diproduksi oleh perusahaannya, seperti Burger King dan Nestle. Di
tiap sampel kemasan itu tertera tulisan Paperocks. Melihat contoh itu,
calon konsumen menjadi yakin. "Biasanya langsung ngomong harga,"
ujarnya.
Menurutnya, sampel produk penting karena hampir semua konsumen selalu
menanyakannya. Lantaran konsumen di dalam negeri kebanyakan pelaku
usaha kecil menengah (UKM), order dari mereka terbatas. Kadang di bawah
batas order Paperocks.
Untuk cup, misalnya, Paperocks mematok batas minimal pemesanan
sebanyak 25.000. "Tapi buat UKM itu terlalu banyak, karena dia pakai
sebulan paling cuma 5.000," ujarnya.
Untuk mengatasinya, Catur menggunakan strategi partial delivery.
Dengan strategi itu perusahaannya tetap memproduksi 25.000 cup. Namun,
pengiriman dan pembayarannya dibagi dalam beberapa tahap. "Ibaratnya dia
menyimpan barang di gudang saya," jelas Catur.
Strategi tersebut memiliki risiko tersendiri. Misalnya, pelaku UKM
gulung tikar sebelum semua produk selesai dikirimkan. Untuk mencegah hal
itu, Catur meminta para petugas sales-nya lebih selektif dalam memilih
calon konsumen. Ke depan, tantangan di bidang pemasaran bakal semakin
berat.
Soalnya, makin banyak pemain baru terjun ke bisnis ini, sehingga
persaingan pun makin ketat. Kendati persaingan semakin ketat, ia
optimistis perusahaannya mampu bertahan di bisnis ini. Kuncinya dengan
mempertahankan kualitas produk.
Bahkan, untuk memperbesar pangsa pasar, ia berencana membuka satu
divisi baru lagi dengan nama perusahaan berbeda. Ia berambisi bisa
menyediakan apa pun yang dibutuhkan pelanggannya saat ini, tidak
terbatas pada kemasan makanan dan minuman. "Apa yang ada di restoran,
kafe dan bakery, harus bisa suplai," katanya.
(Selesai)
Sejak awal mendirikan PT Paperocks Indonesia, Catur Jatiwaluyo fokus
melakukan pemasaran. Fokus utamanya saat itu membidik pasar domestik.
Sebagai pendatang baru, tak mudah bagi Catur membangun kepercayaan
konsumen.
Namun ia pantang menyerah. Pelan-pelan ia melakukan branding agar
produknya dikenal luas di pasar dalam negeri. Kerja kerasnya ini tidak
sia-sia. Terbukti, daerah-daerah yang sebelumnya sulit ditembus kini
mulai dikuasainya.
Salah satunya di Surabaya, Jawa Timur. Pada 2002, sama sekali tidak
ada penjualan Paperocks di Kota Surabaya. Namun di tahun 2013, penjualan
langsung melonjak. "Di 2013, penjualan setahun hampir Rp 2 miliar,"
ujarnya.
Catur mengaku, strategi pemasaran yang dilakukannya sederhana saja.
Ia hanya membawa beberapa sampel kemasan sejumlah produk kemasan yang
telah diproduksi oleh perusahaannya, seperti Burger King dan Nestle. Di
tiap sampel kemasan itu tertera tulisan Paperocks. Melihat contoh itu,
calon konsumen menjadi yakin. "Biasanya langsung ngomong harga,"
ujarnya.
Menurutnya, sampel produk penting karena hampir semua konsumen selalu
menanyakannya. Lantaran konsumen di dalam negeri kebanyakan pelaku
usaha kecil menengah (UKM), order dari mereka terbatas. Kadang di bawah
batas order Paperocks.
Untuk cup, misalnya, Paperocks mematok batas minimal pemesanan
sebanyak 25.000. "Tapi buat UKM itu terlalu banyak, karena dia pakai
sebulan paling cuma 5.000," ujarnya.
Untuk mengatasinya, Catur menggunakan strategi partial delivery.
Dengan strategi itu perusahaannya tetap memproduksi 25.000 cup. Namun,
pengiriman dan pembayarannya dibagi dalam beberapa tahap. "Ibaratnya dia
menyimpan barang di gudang saya," jelas Catur.
Strategi tersebut memiliki risiko tersendiri. Misalnya, pelaku UKM
gulung tikar sebelum semua produk selesai dikirimkan. Untuk mencegah hal
itu, Catur meminta para petugas sales-nya lebih selektif dalam memilih
calon konsumen. Ke depan, tantangan di bidang pemasaran bakal semakin
berat.
Soalnya, makin banyak pemain baru terjun ke bisnis ini, sehingga
persaingan pun makin ketat. Kendati persaingan semakin ketat, ia
optimistis perusahaannya mampu bertahan di bisnis ini. Kuncinya dengan
mempertahankan kualitas produk.
Bahkan, untuk memperbesar pangsa pasar, ia berencana membuka satu
divisi baru lagi dengan nama perusahaan berbeda. Ia berambisi bisa
menyediakan apa pun yang dibutuhkan pelanggannya saat ini, tidak
terbatas pada kemasan makanan dan minuman. "Apa yang ada di restoran,
kafe dan bakery, harus bisa suplai," katanya.
(Selesai)
Sejak awal mendirikan PT Paperocks Indonesia, Catur Jatiwaluyo fokus
melakukan pemasaran. Fokus utamanya saat itu membidik pasar domestik.
Sebagai pendatang baru, tak mudah bagi Catur membangun kepercayaan
konsumen.
Namun ia pantang menyerah. Pelan-pelan ia melakukan branding agar
produknya dikenal luas di pasar dalam negeri. Kerja kerasnya ini tidak
sia-sia. Terbukti, daerah-daerah yang sebelumnya sulit ditembus kini
mulai dikuasainya.
Salah satunya di Surabaya, Jawa Timur. Pada 2002, sama sekali tidak
ada penjualan Paperocks di Kota Surabaya. Namun di tahun 2013, penjualan
langsung melonjak. "Di 2013, penjualan setahun hampir Rp 2 miliar,"
ujarnya.
Catur mengaku, strategi pemasaran yang dilakukannya sederhana saja.
Ia hanya membawa beberapa sampel kemasan sejumlah produk kemasan yang
telah diproduksi oleh perusahaannya, seperti Burger King dan Nestle. Di
tiap sampel kemasan itu tertera tulisan Paperocks. Melihat contoh itu,
calon konsumen menjadi yakin. "Biasanya langsung ngomong harga,"
ujarnya.
Menurutnya, sampel produk penting karena hampir semua konsumen selalu
menanyakannya. Lantaran konsumen di dalam negeri kebanyakan pelaku
usaha kecil menengah (UKM), order dari mereka terbatas. Kadang di bawah
batas order Paperocks.
Untuk cup, misalnya, Paperocks mematok batas minimal pemesanan
sebanyak 25.000. "Tapi buat UKM itu terlalu banyak, karena dia pakai
sebulan paling cuma 5.000," ujarnya.
Untuk mengatasinya, Catur menggunakan strategi partial delivery.
Dengan strategi itu perusahaannya tetap memproduksi 25.000 cup. Namun,
pengiriman dan pembayarannya dibagi dalam beberapa tahap. "Ibaratnya dia
menyimpan barang di gudang saya," jelas Catur.
Strategi tersebut memiliki risiko tersendiri. Misalnya, pelaku UKM
gulung tikar sebelum semua produk selesai dikirimkan. Untuk mencegah hal
itu, Catur meminta para petugas sales-nya lebih selektif dalam memilih
calon konsumen. Ke depan, tantangan di bidang pemasaran bakal semakin
berat.
Soalnya, makin banyak pemain baru terjun ke bisnis ini, sehingga
persaingan pun makin ketat. Kendati persaingan semakin ketat, ia
optimistis perusahaannya mampu bertahan di bisnis ini. Kuncinya dengan
mempertahankan kualitas produk.
Bahkan, untuk memperbesar pangsa pasar, ia berencana membuka satu
divisi baru lagi dengan nama perusahaan berbeda. Ia berambisi bisa
menyediakan apa pun yang dibutuhkan pelanggannya saat ini, tidak
terbatas pada kemasan makanan dan minuman. "Apa yang ada di restoran,
kafe dan bakery, harus bisa suplai," katanya.
(Selesai)