Friday, September 13, 2013

KEGIATAN USAHA BANK



Tujuan Instruksional :
Setelah membaca tentang Kegiatan Usaha Bank, Pembaca diharapkan
dapat menjelaskan Usaha yang dapat dilakukan Bank Umum, Kegiatan
yang dilarang dilakukan oleh Bank Umum, Usaha BPR, Kegiatan yang
dilarang dilakukan oleh BPR dan Usaha Bank Syariah
Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa bank
merupakan financial intermediary (lembaga perantara keuangan),
dengan demikian bank memiliki fungsi utama menghimpun dana dari
118
masyarakat (funding) dan menyalurkan dana kepada masyarakat (
landing ). Namun dalam perkembangannya, bank memberikan pula jasa
– jasa lain kepada masyarakat. Demikian halnya dengan bank syariah.
Namun demikian kegiatan usaha bank tidak sama antara bank
yang satu dengan bank yang lainnya. Hal ini antara lain tergantung dari
jenis bank. Telah diuraikan pula, bahwa di Indonesia terdapat dua jenis
bank, yaitu bank umum dan BPR. Kedua jenis bank ini memiliki
perbedaan dalam banyak hal, antara lain dari bentuk hukumnya, tata
cara pendiriannya – termasuk modal untuk mendirikannya, dan kegiatan
atau usahanya. UU No 10 tahun 1998 memberikan ketentuan tentang
hal – hal tersebut di atas, termasuk kegiatan – kegiatan atau usaha yang
dilarang dilakukan baik oleh bank umum maupun BPR.
Untuk itu perlu ditelaah terlebih dahulu mengenai pengertian
bank umum dan BPR
Pengertian Bank Umum menurut Pasal 1 angka 2 UU No 10
tahun 1998, adalah :
“ bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran “.
Pengertian BPR menurut Pasal 1 angka 4 UU No 10 Tahun
1998 adalah :
“ bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran “.( kursif
dari penulis )
Dari pengertian di atas, diketahui bahwa perbedaan bank umum
dengan BPR adalah bank umum memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran, sedangkan BPR tidak. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa bank umum maupun BPR sama – sama
memberikan jasa dalam penghimpunan dana dan sama sama
memberikan jasa dalam penyaluran dana kepada masyarakat, tetapi
BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sebelum diuraikan usaha usaha bank dalam penghimpunan
dana masyarakat, usaha – usaha bank dalam penyaluran dana kepada
masyarakat dan usaha bank memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran, akan diuraikan terlebih dahulu ketentuan UU NO 10 tahun
119
1998 tentang usaha – usaha yang dilarang dilakukan oleh bank umum
dan BPR.
A. Usaha Bank Umum
Usaha Yang Dapat Dilakukan Oleh Bank Umum
Menurut Pasal 6 UU No 10 tahun 1998 usaha bank umum
meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit;
c. Menerbitkan surat pengakuan utang;
d. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
1. Surat – surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank
yang masa berlakunya tidak lebih lama dari pada kebiasaan
dalam perdagangan surat – surat dimaksud;
2. Surat pengakuan hutang, dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat – surat dimaksud;
3. Kertas perbendaharaan negara, dan surat jaminan pemerintah
4. Sertifikat bank indonesia ( SBI);
5. Oblogasi
6. Surat dagang berjangka sampai dengan satu tahun;
7. Instrumen surat berharga lain yang jangka waktu sampai dengan
1 ( satu ) tahun.
e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;
f. Menempatkan dana, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain, naik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek,atau sarana
lainnya;
g. Menerima pembayaran atas taguhan surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang, dan surat berharga
120
i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak;
j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
k. Dihapus
l. Melakukan kegiatan anjk piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan
wali amanat.
m. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lainn
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang
tidak bertentangan dengan undang – undang ini dan peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
Selain melakukan kegiatan di atas, bank umum dapat melakukan
kegiatan lainnya. Hal ini sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 7.
Menurut ketentuan tersebut bank umum dapat pula :
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan
lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura,
perusdahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, dan
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang – undangan
dana pensiun yang berlaku.
Usaha Yang Dilarang Dilakukan Oleh Bank Umum
UU No 10 tahun 1998 selain menetapkan jenis – jenis usaha
yang dapat dilakukan oleh bank umum, juga menetapkan jenis – jenis
121
usaha yang dilarang dilakukan oleh bank umum. Ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 10. Menurut Pasal 10 bank umum dilarang:
a. Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimkaksud
dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c;
b. Melakukan usaha perasuransian;
c. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksdud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
B. Usaha Bank Perkreditan Rakyat ( BPR)
Usaha Yang Dapat Dilakukan Oleh BPR
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 usaha Bank Perkreditan Rakyat (
BPR) meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito bejangka, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat bank Indonesia (
SBI), deposito berjangka, tabungan, sertifikat deposito, dan atau
tabungan pada bank lain.
Dari ketentuan di atas, tampaklah bahwa jika dibandingkan
dengan bank umum, kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh BPR
sangat kecil atau terbatas ruang lingkupnya.
Usaha Yang Dilarang Dilakukan Oleh BPR
Usaha yang dilarang dilakukan oleh BPR terdapat dalam Pasal
14. Menurut pasal 14 Bank Perkreditan Rakyat dilarang :
a. Menerima simpanan berupa giro, dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran;
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. Melakukan penyertaan modal
d. Melakukan usaha perasuransian;
e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
122
Usaha Bank Umum Syariah Dan BPR Syariah
Pada dasarnya usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum
syariah dan BPR Syariah pada dasarnya mengacu pada ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10, 13 dan Pasal 14 UU No 10
tahun 1998. Namun satu hal yang sangat prinsip yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan usahanya, bank syariah ( baik bank
umum maupun BPR) semua usaha tersebut harus dilakukan dengan
prinsip syariah, tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Pengertian atau definisi tentang prinsip syariah dapat dilihat
dalam Pasal 1 angka 13 yang berbunyi :
“ Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil ( mudharabah ), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal ( musyarakah ), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan ( murabahah ), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan ( ijarah ), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh
pihak lain ( ijarah wa iqtina ) “
Dengan demikian jelaslah bahwa usaha yang dapat dilakukan
oleh bank syariah adalah setiap usaha yang dapat dilakukan oleh bank
konvensional selama dapat dibenarkan oleh syariah Islam. Perjanjian –
perjanjian yang diuraikan dalam Pasal 13 di atas hanyal beberapa
contoh bentuk perjanjian yang terdapat dalam syariah islam. Di luar
perjanjian tersebut masih banyak bentuk bentuk perjanjian lainnya.
Oleh karena itu bagi bank syariah terdapat dua aturan yang
dapat dijadikan pedoman untuk dapat menentukan kegiatan usahanya,
yaitu UU Perbankan dan Ketentuan / Syariah Islam. Ketentuan Syariah
Islam yang berkaitan tentang usaha yang dapat dilakukan oleh bank
syariah dikeluarkan oleh Dewan Pengawas Syariah dan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia.
Uraian lebih lengkap tentang kegiatan usaha bank syariah dapat
dilihat pada bab tentang Prinsip – Prinsip Usaha Bank Syariah. Sebagai
studi komparatif berikut ini akan diuraikan tentang usaha bank
123
konvensional dalam penghimpunan dana, penyaluran dana dan usaha
dalam lalu lintas pembayaran
Pasal 16 dan 17 UU No. 10
Tahun 1998 : Bank Umum
dapat melakukan 18 macam
usaha
Pasal 19 dan 20 UU No. 21 Tahun 2008 :
BUS dapat melakukan 32 macam usaha.
UUS dapat melakukan 21 macam usaha
Pasal 13 UU No. 10 Tahun
1998 : BPR dapat melakukan
4 macam usaha.
Pasal 21 UU No. 21 Tahun 2008 : BPRS
dapat melakukan 5 macam usaha
Usaha Bank Konvensional dalam Penghimpunan Dana
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Perbankan No. 10 Th. 1998
tentang perbankan, jenis dana yang dapat dihimpun oleh bank adalah
sebagai berikut:
1. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya, atau dengan pemindah bukuan.
2. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan
dengan bank.
3. Sertifikat Deposio adalah simpanan dalam bentuk deposito yang
sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan.
4. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet, giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
1. Ketentuan Dalam Penarikan Dana
Dalam melakukan pernarikan dana, setiap bank harus
memperhatikan ketentuan yang telah digariskan oleh Bank Indonesia di
bidang penarikan atau penghimpunan dana.
1.a. Ketentuan di bidang Giro
Dalam hal akan menerima nasabah baru, bank haruslah
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
124
1. Kepada nasabah harus diminta data-data berupa tanda bukti diri
(berupa kartu penduduk, paspor, SIM, dan lain-lain, dan tanda
tangan yang tercantum dalam kartu tanda tangan pada bank harus
sama dengan tanda tangan dalam kartu bukti diri tersebut.
2. Calon nasabah harus memilikki referensi tertulis dari pihak ketiga
yang dikenal baik oleh bank (biasanya referensi tersebut dari
nasabah yang bersangkutan) atau dari pejabat bank sendiri yang
mengenal baik calon nasabah bank tersebut.
3. Bila calon nasabah berupa suatu badan usaha, maka calon yang
bersangkutan harus menyerahkan akte pendirian atau anggaran dasar
perusahaan/badan usaha yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
KUHD dan atau UU/Peraturan Pemerintah.
4. Terhadap calon nasabah harus dilakukan penelitian, apakah nama
yang bersangkutan tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku
dikeluarkan oleh BI. Jika masih tercantum maka permintaannya
untuk menjadi calon nasabah harus ditolak.
5. Apabila syarat-syarat tersebut diatas telah dipenuhi, maka nama yang
bersangkutan, termasuk nama aliasnya (bila nama nasabah adalah
perorangan), dan alamat lengkap harus dicatat untuk mengetahui
kebenaran alamat tersebut, dan sebaliknya dilakukan pengecekannya
oleh bank.
6. Kepada calon nasabah yang bersangkutan, bank harus membuat
perjanjian pembukaan rekening yang ditanda tangani nasabah yang
antara lain harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila cek/bilyet giro ditarik oleh nasabah diajukan kepada bank
ternyata dananya tidak mencukupi, maka cek/bilyet giro tersebut
ditolak oleh bank sebagai cek/bilyet kosong.
b. Penarikan cek/bilyet giro oleh nasabah atas dana yang belum
efektif dan ditolak pembayarannya oleh bank (cross-clearing)
juga diperlukan sebagai penarikan cek/bilyet giro kosong.
c. Bila dalam jangka waktu enam bulan nasabah menarik cek/bilyet
giro kosong sebanyak tiga kali, termasuk penarikan pada bank
lain, maka rekening yang bersangkutan segera ditutup oleh
nasabah/perubahan tersebut dimaksukkan ke dalam daftar hitam
penarik cek/bilyet giro kosong oleh Bank Indonesia.
125
d. Jika nama nasabah tercantum dalam daftar hitam yang
dikeluarkan Bank Indonesia, maka rekeningnya pada bank
tersebut akan ditutup pula.
e. Apabila rekening nasabah ditutup, maka yang bersangkutan wajib
mengembalikan sisa buku cek/bilyet giro pada bank.
7. Copy perjanjian pembukaan rekening koran yang antara lain memuat
hal tersebut pada butir 6 di atas harus diberikan kepada nasabah yang
bersangkutan.
8. Dalam menyediakan buku formulir cek/bilyet giro kepada nasabah,
hendaknya diperhatikan bonafiditas nasabah yang bersangkutan.
Untuk nasabah yang belum diketahui bonafiditasnya, misalnya
karena baru membuka rekening, hendaknya diberikan buku
cek/bilyet giro yang isinya tidak begitu banyak, misalnya 10 lembar.
Hal tersebut guna mengurangi kemungkinan penyalah gunaannya
oleh nasabah yang tidak bertanggungjawab.
Ketentuan-ketentuan tersebut tercantum dalam SEBI No. SE
12/8/UBPP tanggal 9 Agustus 1979.
1.b. Ketentuan di bidang Deposito
Untuk bank-bank pemerintah, dalam hal deposito ini semula
berlaku instruksi Presiden No. 28 Th. 1968, dan diatur lebih lanjut
tetang suku bunganya dengan SK Direksi BI No. 5/4/KEP/DIR
tertanggal 31 Mei 1972. kemudian diatur lebih lanjut dengan SK
Direksi BI No. 22/65/KEP/DIR dan SEBI No. 16/2/UPUM tertanggal 1
Juni 1983 perihal deposito berjangka pada bank-bank pemerintah.
Dengan SK Direksi BI No. 22/65/KEP/DIR dan SEBI No.
22/135/UPG tanggal 1 Desember 1989 (Pakdes), maka ketentuan
tentang deposito berjangka pada bank pemerintah itu di cabut, yang
berarti semua bank dibebaskan untuk mengatur sendiri ketentuan dan
suku bunga bagi deposito masing-masing sesuai dengan kebutuhan.
Bagi Bank Umum/Swasta, ketetapan tentang suku bunga deposito
berjangka belum pernah diadakan, dan ketetapan suku bunga untuk
bank-bank pemerintah itu dapat dijadikan pedoman oleh bank swasta.
Namun, dengan dikeluarkannya ketentuan 1 Desember 1989, maka saat
ini semua bank bebas menentukan bunga deposito masing-masing.
126
1.c. Ketentuan di bindang Sertifikat Deposito
Semula penerbitan sertifikat deposito oleh bank maupun lembaga
keuangan bukan bank harus mendapat izin lebih dahulu dari BI (SEBI
No. 17/UPUM dan SK Direksi BI No. 17/44/KEP/DIR tanggal 22
Oktober 1984 perihal penerbitan sertifikat deposito oleh Bank Umum
dan Bank Pembangunan). Namun, sejak dikeluarkannya SEBI No.
21/27/UPG dan SK Direksi BI No. 21/48/KEP/DIR tanggal 27 Oktober
1988 tentang penerbitan sertifikat deposito oleh bank dan lembaga
keuangan bukan bank, izin itu tidak diperlukan lagi. Ketentuan
penerbitan sertifikat deposito:
1. Dalam rangka pengerahan dana masyarakat, bank dan lembaga
keuangan bukan bank di perkenankan menerbitkan sertifikat
deposito tanpa meminta persetujuan Bank Indonesia.
2. Sertifikat deposito hanya dapat diterbitkan dalam rupiah dengan nilai
normal sekurang-kurangnya Rp. 1 juta.
3. Jangka waktu sertifikat deposito sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
hari selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan.
4. Sertifikat deposito dapat diperjualbelikan di pasar uang sehingga
untuk melindungi pemegangnya diperlukan keseragaman bentuk, isi,
dan redaksinya. Untuk itu, maka warkat sertifikat deposito harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Kata-kata SERTIFIKAT DEPOSITO dan DAPAT
DIPERDAGANGKAN di tulis dalam ukuran besar sehingga
mudah di lihat.
b. Nomor seri dan nomor urut.
c. Nama dan tempat kedudukan penerbit.
d. Nilai nominal dalam rupiah.
e. Tanggal dan tempat penerbitan.
f. Tingkat bunga atau diskonto.
g. Pernyataan bahwa penerbit mengikat diri untuk membayar
sejumlah uang tertentu dalam rupiah pada tanggal dan tempat
tertentu.
h. Tanda tangan direksi atau pejabat yang berwenang dari penerbit.
i. Tanda tangan pejabat dari kantor cabang di tempat sertifikat
deposito diterbitkan.
127
Selain itu, pada halaman belakang sertifikat deposito harus
dicantumkan klausul yang sekurang-kurangnya menyatakan bahwa:
1. Penerbit menjamin sertifikat deposito dengan seluruh harta dan
piutangnya.
2. Sertifikat deposito dapat diperjualbelikan dan dapat dipindah
tangankan dengan cara penyerahan.
3. Pelunasan dilakukan pada tanggal jatuh tempo atau sesudahnya
dengan menyerahkan kembali warkat sertifikat deposito yang
bersangkutan oleh pembawa.
1.d. Ketentuan di bidang Tabungan
Ketentuan yang berlaku sebelumnya adalah dalam rangka
kebijakan saving drive tahun 1971 yang mulai berlaku sejak 1 Agustus
1971, yaitu tentang penyelenggaran Tabanas dan Taska.
BUSN dan bank tabungan swasta dapat dipertimbangkan untuk
ikut serta dalam Tabanan dan Taska setelah memenuhi syarat-syarat
tertentu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Namun, sejak
dikeluarkannya Pakto 1998 semua bank di Indonesia, termasuk bank
asing, diperkenankan mengembangkan sendiri berbagai jenis tabungan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Batasan yang ditetapkan dalam Pakto 1998 tersebut antara lain:
1. Tabungan hanya dapat diselenggarakan dalam rupiah.
2. Penarikan hanya dapat dilakukan dengan menandatangani kantor
bank tersebut atau alat yang disediakan untuk keperluan tersebut dan
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan
surat perintah pembayaran lainnya yang sejenis.
3. Penarikan tidak boleh melebihi suatu jumlah tertentu sehingga
meyebabkan saldo tabungan lebih kecil dari saldo minimum (SEBI
No. 21/20/UPG tanggal 27 Oktober 1988).
Terakhir, dengan SK Direksi BI No. 22/63/KEP/DIR dan SEBI No.
22/133/UPG tanggal 1 Desember 1989 telah dicabut semua ketentuan
tentang Tabanas, Taska dan sebagainya, termasuk SEBI No. 21/20/UPG
tanggal 27 Oktober 1988 tersebut diatas. Kendati demikian, SK ini tidak
mengubah syarat-syarat tentang penyelenggaraan tabungan, hanya
mencantumkan penegasan tentang pencabutan jaminan atas Tabanas
dan Taska oleh Bank Indonesia.
128
1.e.. Penarikan dalam Bentuk Lain
Bila dalam perkembangannya bank menganggap perlu menarik
dana dalam bentuk lain, misalnya menerbitkan obligasi atau saham
maka bank itu harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam bidang dana-dana lain tersebut. Dalam hal bank bermaksud
mengeluarkan obligasi atau saham, maka bank tersebut harus memenuhi
ketentuan-ketentuan yang tertera dalam:
1. SK Ketua Badan Pelaksanaan Pasar Modal (Bapepam) No.
612/PM/1987 tentang ketentuan pelaksanaan dan perdagangan
obligasi di bursa paralel 23 Desember 1987. kententuan tersebut
pada pokoknya memuat hal sebagai berikut:
a. Batasan tentang saham dan obligasi :
Saham adalah tanda penyertaan modal pada Perseroan Terbatas
sebagaimana diatur dalam KUHD.
Obligasi adalah surat pengakuan hutang atas pinjaman uang oleh
emitmen dari masyarakat untuk jangka waktu sekurangkurangnya
tiga tahun dengan imbalan bunga yang jumlah serta
pembayarannya telah ditentukan.
Emitmen adalah badan usaha yang menerbitkan efek untuk
ditawarkan kepada masyarakat.
b. Persyaratan emisi efek suatu badan usaha :
 Bertempat kedudukan di Indonesia.
 Modal di stor penuh sekurang-kurangnya Rp. 200 juta.
 Dalam dua tahun buku terakhir berturut-turut memperoleh
laba.
 Laporan keuangan telah diperiksa oleh Akuntan Publik untuk
dua tahun buku terakhir secara berturut-turut dengan
pernyataan pendapat wajar tanpa syarat untuk tahun terakhir.
c. Khusus syarat untuk bank :
 Untuk emisi saham, selama tiga tahun terakhir harus
memenuhi ketentuan bahwa selama dua tahun pertama
sekurang-kurangna tergolong cukup sehat, serta memiliki
persyaratan permodalan yang ditetapkan oleh BI.
 Untuk emisi obligasi, melampirkan rekomendasi dari BI
mengenai jumlah obligasi yang dapat diterbitkan.
129
o Emisi saham dilakukan dengan dalam pecahan dengan
nominal Rp. 1000.
o Emisi obligasi dilakukan dalam pecahan dengan nominal
sekurang-kurangnya Rp. 10.000.
2. Pasal 26 Ayat (1) UU Perbankan Th.1998, yang menyatakan bahwa
Bank Umum dapat melakukan kegiatan emisi saham melalui bursa
efek di Indonesia. Emisi saham oleh Bank Umum tersebut
diperkirakan akan mengalami masa depan yang cerah mengingat,
berdasarkan bunyi Pasal 26 Ayat (2) UU Perbankan Th. 1998, warga
negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia,
dan/badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum secara
langsung dan/atau melalui bursa efek. Sebagaimana kita ketahui
dalam UU sebelumnya (UU No. 14 Tahun 1967) saham bank hanya
boleh dimiliki oleh warga negara Indonesia.
2. Larangan dan Batasan yang berlaku dibidang Penarikan Dana.
Khusus terhadap bank-bank swasta berlaku ketentuan tentang
larangan penerimaan dana dalam bentuk apapun yang diketahuinya atau
patut diketahuinya merupakan bagian dari uang negara. Ketentuanketentuan
hal ini adalah sebagai berikut:
1. Uang negara, yaitu bagian dari kekayaan negara yang berupa uang
dan yang merupakan bagian dari APBN, hanya dapat disimpan pada
BI dan dibukukan atas nama rekening jabatan. Apabila di daerah
yang bersangkutan tidak ada BI, maka setelah mendapat persetujuan
dari Menteri Keuangan penyimpanannya dapat dilakukan pada bankbank
lain dengan urutan prioritas sebagai berikut:
a. Bank pemerintah lain, atau jika ini tidak ada;
b. Bank Perkreditan Daerah.
2. Dalam hal uang negara disimpan pada Bank Umum pemerintah atau
swasta, dan terhadap simpanan tersebut diberikan jasa giro atas nama
rekening bendaharawan negara, tidak boleh dibayarkan secara
langsung kepada bendahara yang bersangkutan. Pemindah bukuan
hanya bisa dilakukan kepada kas negara setempat untuk dibukukan
sebagai penerimaan departemen yang bersangkutan, karena jasa giro
yang dibayarkan tersebut merupakan penerimaan negara.
130
3. Bank-bank swasta nasional dilarang menerima simpanan yang
berasal dari bendaharawan instansi/lembaga badan pemerintahan
atau semi pemerintahan di mana uang tersebut merupakan atau harus
merupakan bagian dari APBN.
4. Perusahaan negara dan perusahaan daerah hanya boleh menyimpan
uangnya pada bank-bank negara atau Bank Pemerintah Daerah
(BPD).
Sejak dikeluarkannya ketentuan derugalasi di bidang perbankan
27 Oktober 1998 (Pakto 27) maka larangan penempatan dana
BUMN/BUMD pada bank-bank swasta nasional tersebut dicabut.
Sesuai dengan keputuan Menteri Keuangan RI No. 1070/KMK.
00/1988 dan SEBI No. 21/9/BPPP teratanggal 27 Oktober 1988, maka
BUMN dan BUMD diperkenankan menempatkan dananya pada Banak
Umum Pemerintah, dengan batasan:
1. Penempatan BUMN dan BUMD pada BUSN tidak boleh melebihi
50% dari seluruh penempatannya dananya.
2. Penempatan dana tersebut pada masing-masing bank tidak boleh
melebihi 20% dari seluruh penempatan BUMN/BUMD yang
bersangkutan.
Usaha Bank Konvensional dalam Menyalurkan Dana
Usaha bank dalam menyalurkan dana terdiri atas, dua hal:
1. Pemberian Kredit.
2. Surat berharga.
1. Pemberian Kredit
Pasal 1 Ayat (1) UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 merumuskan
pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Perumusan itu lebih luas dibanding dengan perumusan dalam
undang-undang lama (UU Perbankan No. 7 Tahun 1992) dan sangat
besar artinya, terutama mengingat akan beroperasinya bank yang
mendasarkan pada syariat Islam, misalnya Bank Muamalat Indonesia.
131
Dengan tambahan kalimat “melakukan pembiayaan dan/melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh bank Indonesian” pada UU Perbankan Tahun 1998.
Larangan dalam Pemberian Kredit
Dalam kebijakan pemberian kredit, bank tidak diperkenankan:
1. Memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis. Artinya, setiap
pemberian kredit dalam bentuk apapun senantiasa harus disertai
dengan surat perjanjian tertulis dengan jelas dan lengkap.
2. Memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah
diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian.
3. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit
(BPMK) yang saat ini ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk satu peminjam yang tidak terkait dengan bank, BPMK
adalah 20% dari modal bank.
b. Untuk satu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank,
PBMK adalah 20% dari modal bank.
c. Untuk pihak-pihak yang terkait dengan bank, baik satu pinjaman
atau keseluruhan, BPMK adalah 10% dari modal bank.
BPMK adalah batas maskimum penyediaan dana yang dikenakan
dilakukan oleh bank kepada peminjan atau kelompok-kelompok
peminjam tertentu.
Penyediaan dana adalah pemberian fasilitas kredit, fasilitas
jaminan atau hal-hal yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank
kepada peminjam atau kelompok-kelompok peminjam.
Peminjam adalah nasabah perorangan atau badan yang
memperoleh satu atau lebih fasilitas penyediaan dana.
Kelompok peminjam adalah kumpulan peminjam yang satu
sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan,
kepengurusan, dan atau hubungan keuangan.
Pihak-pihak yang terkait dengan bank adalah:
a. Pemegang saham yang memiliki saham 10% atau lebih dari
modal di stor bank.
b. Anggota Dewan Komisaris.
c. Anggota Direksi.
d. Keluarga dari pihak-pihak tersebut pada butir (a), (b), dan (c).
132
e. Pejabat bank.
f. Perusahan-perusahan yang didalamnya terdapat kepentingan
dari pihak-pihak yang dimaksud di atas yaitu yang
kepemilikannya mencapai 25% atau lebih.
Sanksi atas penyelenggaraan ketentuan BPMK adalah dikenai
Pasal 49 Ayat (2) huruf b dan Pasal 50 UU No. 10 Th. 1998
tetang perbankan dengan ancaman pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.000.00
(seratus miliar rupiah).
Penyesuaian BPMK untuk masing-masing peminjam tersebut di
atas adalah sebagai berikut:
Untuk kelompok peminjam:
a. Sampai akhir Desember 1995 setinggi-tingginya 50% dari
modal bank.
b. Sejak akhir Desember 1995 sampai akhir Maret 1997 setinggitingginya
35% dari bank.
c. Sejak akhir Maret 1997 setinggi-tingginya 20% dari modal
bank.
Untuk pihak yang terkait dengan bank:
a. Setiap akhir Desember 1995 sampai akhir Maret 1997 setinggitingginya
12,5% dari modal bank.
b. Sejak akhir Maret1997 setinggi-tingginya 10% dari modal
bank.
Demikianlah ketentuan dalam Sk Direksi BI No. 26/21/KEP/DIR
dan SEBI No. 21/11/BPPP tanggal 27 Oktober 1988 (Pakto 1988)
dan SEBI No. 23/13/BPPP tanggal 28 Februari 1991(Paktri) yang
dimaksudkan untuk disesuaikan dengan UU Perbankan Tahun
1998, khususnya Pasal 11.
4. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk:
a. Pembelian saham.
b. Modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham.
Demikian SK Direksi BI No. 23/70/KEP/DIR dan SEBI No.
23/3/UKU, keduanya tertanggal 28 Februari 1991 (Paktri).
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemberian kredit:
Selain dari apa yang telah diuraikan di atas, dalam pemberian
kredit perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
133
1. Pasal 8 UU Perbankan No. 10 Th. 1998 yang menyatakan bahwa
dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Dalam penjelasan Pasal 8 tersebut dikemukakan bahwa kredit yang
diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam
pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan
yang sehat. Untuk mengurangi resiko itu, jaminan kredit dalam arti
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum meberikan kredit,
bank harus melaksanakan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha pihak debitur.
Mengingat bahwa agunan adalah salah satu unsur jaminan dalam
pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah
dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan
hutangnya, agunan hanya dapat berupa debitur mengembalikan
hutangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak
tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak
wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung
dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan “agunan
tambahan”.
2. Pasal 6 huruf (K) UU Perbankan No. 7 Th. 1992 tetang usaha bank
menyatakan bahwa bank dapat membeli melalui pelelangan agunan
baik semua maupun sebagian bila debitur tidak memenuhi
kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli
tersebut wajib dicairkan secepatnya.
Ketentuan ini dimaksud untuk mempercepat proses pencairan
jaminan, karena dalam praktek pelelangan jamina sering kali kurang
diminati oleh pihak penawar sehingga menyebabkan sulitnya
mencairkan jaminan tersebut.
134
3. Pasal 29 Ayat (3) UU Perbankan Th. 1998 menyebutkan bahwa
dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
4. Pasal 49 Ayat (2) UU Perbankan No. 10 Th. 1998 tentang ketentuan
pidana dan sanksi administratif menyatakan bahwa anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau Pegawai Bank yang dengan sengaja:
a. Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk
menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan,
uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau
untuk keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha
mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka,
bank garansi atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka
pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat wesel, surat
promes, cek dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya,
ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain
untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas
kreditnya pada bank.
b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undangundang
ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku bagi bank.
Diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.000.00 (seratus miliar
rupiah).
Pada butir 3 dan 4 dari ketentuan di atas, Ketentuan tersebut
sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang terutama dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan nasabah yang telah mempercayakan dananya
kepada bank.
Ketentuan tentang Jaminan Kredit dan Pengikatan Kredit
Apabila unsur jaminan kredit ada yang berupa barang atau bila
ditetapkan oleh bank perlu adanya agunan tambahan berupa barang,
harus dilakukan pengikatan hukum yang kuat atas jaminan kredit atau
agunan tambahan tersebut. Agar bank dapat melaksanakan hak dan
135
kekuasaan atas barang-barang jaminan atau agunan tambahan, perlu
diperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Melakukan pengikatan secara yuridis formal atas barang-barang dan
jaminan atau agunan tambahan yang berangkutan menurut hukum
yang berlaku.
2. Apabila jaminan atau agunan tambahan atas kredit yang diberikan
berupa barang-barang bergerak, cara pengikatannya adalah:
3. Bila jaminan atau agunan tambahan atas kredit yang diberikan
berupa barang tetap/barang tidak bergerak, cara pengikatannya
dilakukan dengam pembuatan akte hipotik sebagaimana diatur dalam
Buku II Bab 21 KUH Perdata (Pasal 1162 s/d 1232). Bila barangbarang
tidak bergerak tersebut terdiri dahi hak atas tanah,
pengikatannya diatur dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961dan
Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 yang berbunyi:
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan lelang hak tanah sebagai tanggungan, harus
dibukukan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan di hdapan
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.
4. Hipotik dapat dipasang atas nama setiap kreditur baik perorangan
maupun badan hukum Indonesia ataupun asing, sedangkan
creditverband hanya dapat mengadakan creeditverband.
5. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, cara memperoleh bak
tanggungan dengan penyerahan hak milik dalam kepercayaan (FEO)
hanya sah bila menyangkut barang-barang bergerak, sedangkan
pengikatan secara FEO atas barang tidak bergerak adalah tidak sah
dan batal demi hukum.
6. Dalam hal FEO, bank harus bertindak sangat hati-hati, khususnya
dalam hal bonafiditas calon debitur, karena barang-barang bergerak
yang dijamin secara FEO tetap dikuasai oleh debitur. Jadi berhasil
atau gagalnya bentuk jaminan FEO itu semata-mata tergantung pada
bonafiditas dan itikad baik debitur. (SEBI No. 4/248 UPPK/PK
tanggal 6 Maret 1972).
Pengamanan Resiko Kredit
Dalam rangka pengamanan resiko kredit, perlu diperhatikan halhal
sebagai berikut:
136
1. Penyebaran kredit yang baik dari jumlah kredit yang diberikan
hingga tidak terjadi konsentrasi pemberian kredit kepada sejumlah
kecil debitur. Untuk BI telah menetapkan BPMK.
2. Penutupan ansuransi atas barang jaminan dengan Banker’s Clause.
3. Memanfaatkan lembaga asuransi kredit, yaitu dengan jalan
mengasuransikan kredit yang diberikan dengan menutup perjanjian
pertanggungan (polis) dengan PT Askarido (Asuransi kredit
Indonesia).
Penanaman Dana dalam Surat Berharga
Yang dimaksud dengan penanaman dalam surat berharga adalah
penanaman dana yang dilakukan oleh suatu bank dalam obligasi,
saham, dan surat-surat berharga lainnya pada perusahaan/bank lain
dengan maksud untuk diperjualbelikan, dan bukan sebagai pernyataan.
Jangka waktu pemilikan untuk maksud memperjualbelikan tersebut
tidak boleh lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan.
Sejak dikeluarkannya SK Direksi BI No. 23/70/KEP/DIR dan
SEBI No. 23/3/UKU tangal 28 Februari 1991 perihal pembatasan
pemberian kredit untuk pembelian saham dan kepemilikan saham oleh
bank, bank dilarang memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai
pernyataan. Bank yang telah memiliki saham yang tidak dimaksudkan
sebagai penyertaan wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut
diatas selambat-lambatnya akhir Desember 1991.
Penanaman dana dalam surat berharga yang lazim oleh perbankan
saat ini adalah dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat
Berharga Uang (SBPU). Kedua cara tersebut adalah paling aman.
Tentang SBI dan SBPU, akan diuraikan lebih lanjut dalam bab yang
membicarakan surat-surat berharga.
Usaha Bank Konvensional dalam Lalulintas Pembayaran dan
Pelaksanaanya
Kalau kita mengikuti neraca rugi/laba bank-bank di Indonesia,
pendapatan utama dari hasil operasional bank-bank itu terutama masih
cenderung tergantung pada pendapatan hasil bunga kredit. Seyogianya
bank juga dapat meningkatkan pendapatannya dari hasil pemberian
jasa-jasa kredit perbankan yang dapat ditawarkan kepada nasabah atau
137
yang lebih dikenal dengan fee based income. Adapun pemberian jasajasa
oleh bank dapat berupa:
1. Transfer.
2. Jaminan bank/bank garansi.
3. Jasa-jasa di bidang devisa.
4. Jasa-jasa lainnya.
Transfer
Bank-bank umum diperkenankan melaksanakan pengiriman uang
atau transfer dengan ketentuan-ketentuan sebai berikut:
Jenis-jenis alat Transfer
1. Wesel.
2. Surat Bukti Pengiriman Uang:
a. Surat Bukti Pengiriman Uang dengan Surat/Mail Transfer
(PUS/MT).
b. Surat Bukti Pengiriman Uang dengan Telegram/Telegram
Transfer (PUT/TT).
c. Surat Bukti Pengiriman Uang dengan Telepon/Telex (TT).
Syarat-syarat alat Transfer
1. Wesel. Bentuk dan isi surat wesel harus memenuhi ketentuanketentuan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 100 KUHD yaitu:
a. Dalam redaksi surat wesel harus terdapat kata “wesel” dalam
bahasa yang dipergunakan untuk redaksi surat wesel tersebut.
b. Surat wesel harus berisikan perintah tidak bersyarat untuk
membayar sejumlah uang.
c. Nama pihak yang harus membayar (tertarik/draweel betrookene).
d. Penetapan hari/tanggal pembayaran, kecuali wesel tunjuk
(opzicht). Artinya, surat wesel yang belum jatuh tempo tidak
dapat dibayar.
e. Penunjuk tempat pembayaran.
f. Nama pihak/orang, kepada siapa atau pihak/orang yang
ditunjuk/order wesel tersebut harus dibayarkan. Dengan demikian
wesel tidak dapat dikeluarkan atas pembawa (aan toonder).
g. Tempat dan tanggal penarikan wesel.
138
h. Tanda tangan (jika perlu juga cap) dari pihak yang menarik wesel
(penarik/drawer/treker).
2. Surat Bukti Pengiriman Uang Dalam Negeri. Hal-hal yang
sekurang-kurangnya harus ditetapkan dalam Surat Bukti Pengiriman
Transfer (SBPT) adalah sebagai berikut:
a. Dari redaksi SBPT harus dapat dibaca adanya amanat pengiriman
uang dari bank pemberi perintah kepada bank penerima/pembayar
transfer.
b. Nama dan tempat bank yang memberi amanat (pengiriman
transfer).
c. Nama dan tempat bank penerima transfer.
d. Jumlah bersih uang yang dikirimkan/yang harus dibayar.
e. Tanggal pengiriman uang.
f. Tanggal pengeluaran SBPT yang harus dilakukan oleh bank
penerima transfer.
g. Nomor urut pengiriman uang dari bank pengirim.
h. Tanda tangan pejabat yang berwenang dari bank yang
mengeluarkan SBPT.
i. Di samping syarat-syarat tersebut di atas, ketentuan-ketentuan lain
yang perlu diperhatikan adalah:
o Formulir SBPT dapat dijadikan satu dengan formulir tanda
pelunasan penerimaan (kwitansi) di halaman belakang SBPT.
o Setelah penerima menandatangani kwitansi tersebut, jumlah
uang SBPT dapat diterima tunai atau disetorkan pada bank
dimana yang bersangkutan memiliki rekening.
o SBPT yang dikeluarkan oleh bank peserta kliring harus
langsung dapat diterima sebagai bahan perhitungan kliring
(warkat clearing).
o Tentang sistem cover yang baik, yakni pengaturan likuiditas
antar kantor cabang dari bank yang bersangkutan bila transfer
tersebut dilakukan antar kantor cabang, diatur lebih lanjut oleh
BI. (SEBI No. 4996 UPPB/Phb tanggal 13 Desember 1968).
Bank Garansi
Pengertian dan syarat-syarat umum pemberian bank garansi
139
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan-ketentuan tentang pemberian
bank garansi atau garansi bank yang terbaru dimuat dalam:
1. SK Direksi BI No. 23/72/KEP/DIR tanggal 28 Februri 1991.
2. SEBI No. 23/5/UKU tanggal 28 Februari 1991.
Dengan dikeluarkannya ketentuan-ketentuan baru perihal bank
garansi, yang merupakan salah satu ketentuan dari Paket 28 Februari
1991 (Paktri), ketentuan-ketentuan lama yang dimuat dalam SEBI yang
bertentangan dengan ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Garansi adalah:
1. Garansi/jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank
atau LKBB yang mengkibatkan kewajiban membayar terhadap pihak
yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin cidera janji
(wanprestasi).
2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas
surat berharga seperi aval dan endosemen dengan hak regres yang
dapat menimbulkan kewjiban membayar bagi bank, apabila yang
dijamin cidera janji.
3. Garansi lainnya yang terdapat karena perjanjian bersyarat sehingga
dapat menimbulkan kewajiban finasial bagi bank.
Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank dapat
berupa:
1. Bank Garansi.
2. Stand by Letter of Credit (stand by L/C)
Syarat-syarat bank Garansi:
1. Judul “Garansi Bank” atau “Bank Garansi”.
2. Nama dan alamat bank pemberi garansi bank.
3. Tanggal penerbitan bank garansi.
4. Jenis transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan
bank.
5. Jumlah nominal uang yang dijamin oleh bank.
6. Tanggal mulai berlaku dan berakhirnya garansi.
7. Penegasan batas waktu pengajuan klaim.
8. Penyertaan bahwa bank penjamin akan memenuhi pembayaran.
a. Dengan terlebih dahulu menyita dan menjual harta benda si
berhutang/penerima jaminan bank untuk melunasi hutangnya,
sesuai dengan bunyi Pasal 1831 KUH Perdata (BW).
140
b. Melepaskan hak istimewa yang diberikan undang-undang untuk
menuntut supaya harta benda si berhutang terlebih dahulu disita
dan dijual untuk melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan bunyi
Pasal 1832 KUH Perdata (BW).
Penerbitan stand by L/C tunduk pada ketentuan Uniform Cutoms
and Practices for Documentary Credit (UCP). Bank dapat memberikan
garansi baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing.
Bank garansi adalah perjanjian bentuk (accessoir) yang ditinjau
dari segi hukum, merupakan perjanjian penanggungan hutang
(borgtocht) sebagaimana diatur dalam Buku II Bab XVII, yakni Pasal
1820 s/d 1850 KUH Perdata (BW) dimana bank dalam hal ini bertindak
sebagai penanggung.
Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata diatas hanya mengatur
masalah penaggungan hutang, sedangakan ketentuan tentang bentuk
maupun syarat-syarat minimum yang harus dimuat dalam perjanjian
ataupun warkat tidak ditentukan secara lengkap dan mendetail. Oleh
karena itu, agar bank-bank mempunyai pedoman yang lengkap dalam
pelaksanaan pemberian bank garansi, ditetapkan syarat-syarat minimum
yang harus dipenuhi dalam pemberian bank garansi sebagaimana
tersebut di atas.
Agar ketentuan-ketentuan tentang syarat minimum pemberian
bank garansi tersebut lebih jelas, perlu dikemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Setiap bank garansi harus memuat judul “Garansi Bank” atau “Bank
Garansi”. Dalam hal bank mengeluarkan bank garansi dalam bahasa
asing, dibawah judul dalam bahasa asing tersebut harus diberi judul
kurung “Garansi Bank” atau “Bank Garansi”.
2. Setiap bank garansi harus memuat jenis transaksi antara pihak yang
dijamin dengan penerima jaminan, transaksi tersebut misalnya:
a. Tender.
b. Pemenuhan bea masuk.
c. Pembangunan suatu proyek.
d. Perizinan pedagang valuta asing.
e. Cukai tembakau.
f. Shipping guarantee dan sebagainya.
141
3. Dalam hal ada wanprestasi, bank harus/diwajibkan mencantumkan
ketentuan yang dipilihnya dalam pemberian bank garansi tersebut,
yakni apakah memilih Pasal 1831 atau Pasal 1832 KUH Perdata.
Larangan dan batasan dalam pemberian bank garansi
1. Larangan dalam pemberian bank garansi.
Bank garansi tidak boleh memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Syarat-syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi oleh pihak yang
dijamin untuk berlakunay bank garansi, misalnya bank garansi baru
berlaku setelah pihak yang dijamin menyetor sejumlah uang.
b. Ketentuan bahwa bank garansi dapat diubah/dibatalkan secara
sepihak, misalnya oleh bank atau pihak yang dijamin.
c. Kata-kata yang dapat diartikan perubahan tanggal berakhirnya bank
garansi.
Larangan tersebut bertujuan melindungi kepentingan masyarakat
dan bank dalam melaksanakan asas-asas perbankan yang sehat, serta
untuk menjaga kepercayaan terhadap bank garansi itu sendiri.
2. Batasan dalam pemberian bank garansi.
Bank hanya diperkenankan memberikan bank garansi sesuai dengan
kemampuan keuangannya. Berdasarkan hal tersebut dan mengingat
bahwa dalam setiap pemberian bank garansi selalu terkandung unsure
risiko, BI menentukan pembatasan bank garansi sebagai berikut:
a. Pemberian garansi dalam rangka penerimaan kredit luar negeri hanya
diperbolehkan dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan
pemberian garansi dimaksud tidak melebihi 20% dari modal. Dalam
pengertian jumlah keseluruhan tersebut termasuk pula garansi yang
dikeluarkan oleh kantor-kantor bank di luar negeri.
b. Pemberian garansi atas permintaan bukan penduduk hanya
diperkenankan apabila disertai dengan:
 Kontragaransi yang cukup dari bank diluar negeri yang bonafid,
dalam pengertian bahwa bank tersebut bukan termasuk cabang
dari bank yang bersangkutan di luar negeri.
 Seteron sebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan.
c. Pemberian garansi dikenakan ketentuan tentang BPMK dan
kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM). BPMK yang
ditetap saat ini adalah:
142
 20% dari modal sendiri bank untuk fasilitas pemberian kredit
yang disediakan bagi satu debitur.
 20% dari modal sendiri bank untuk fasilitas pemberian kredit
yang disediakan bagi suatu debitur grup.
Yang dimaksud dengan fasilitas pemberian kredit adalah semua
fasilitas kredit yang disediakan oleh bank, baik yang langsung dapat
digunakan maupun fasilitas yang setiap saat dapat ditarik, serta fasilitas
pemberian garansi dan penyertaan bank pada perusahaan yang
bersangkutan.
Pelanggaran atas ketentuan-ketentuan tersebut diatas dikenakan
sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan bank, juga sanksi
berupa kewajiban membayar sebesar 3% sebulan dari nilai nominal
pelanggaran BPMK.
Prosedur dan Analisis pemberian Bank Garansi
Mengingat bahwa setiap pemberian bank garansi dapat
menimbulkan kewajiban yang mengandung resiko, sebelum bank
garansi diberikan, bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian dan
penelaahan yang cermat seperti ketika akan memberikan kredit, antara
lain mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Meneliti bonafiditas pihak yang dijamin maupun penerima jaminan.
2. Meneliti sifat dan nilai transaksi yang akan dijamin sehingga dapat
memberikan bank garansi yang sesuai.
3. Menilai jumlah bank garansi yang akan diberikan menurut
kemampuan keuangan bank.
4. Bila dalam surat kontrak dengan jelas dicantumkan bahwa untuk
keperluan pelaksanaan/realisasi kontrak tersebut oleh
nasabah/pemohon bank garansi diperlukan suatu surat jaminan bank,
surat kontrak tersebut harus diteliti kewajarannya dan dipastikan
apakah bisa dipertanggungjawabkan.
5. Menilai kemampuan piahk yang akan dijamin untuk memberikan
kontrak jaminan/jaminan lawan yang cukup sesuai dengan
kemungkinan terjadinya resiko dan memastikan bahwa jaminan
tersebut sedapat mungkin bersifat mudah dieksekusi (dicairkan).
Yang dimaksud dengan kontrajaminan yang cukup adalah bahwa
kontrajaminan yang diminta oleh bank dari pemohon bank garansi
143
mempunyai nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang
mungkin dipikul oleh bank apabila pemberian bank garansi pada
saatnya harus benar-benar direalisir/dicairkan. Sifat kontrajaminan
tersebut dapat berupa jaminan materi dan atau bukan, materi seperti
jaminan dalam kredit. Dalam hal kontrajaminan berupa materi, perlu
diadakan penilaian/transaksi dan pengikatan kontrajaminan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku disertai tindakan-tindakan
pengamanan lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa prosedur dan analisis pemberian
bank garansi oleh bank adalah sama dan serupa dengan prosedur
analisis pemberian kredit. Untuk penerbitan bank garansi, bank
biasanya memungut suatu provisi yang besarnya ditetapkan oleh bank
penerbit bank garansi. Di samping pembebanan provisi, semua biaya
yang timbul akibat pemberian bank garansi, misalnya biaya pengikatan
jaminan, ongkos administrasi, dan sebagainya tetap menjadi beban
pihak yang diberi jaminan bank, sebagaimana juga berlaku dalam
pemberian kredit.
Jenis-jenis Bank Garansi
Bank garansi yang dapat diberikan oleh bank antara lain adalah:
1. Bank garansi untuk jaminan tender dalam negeri (tender bid bond).
Bank garansi jenis ini diberikan kepada peserta tender yang diadakan
oleh pihak-pihak di Indonesia dalam rangka suatu proyek atau suatu
pesanan. Bank garansi tersebut tidak dapat dipakai sebagai jaminan
bank untuk penarikan uang muka dan hanya berlaku untuk satu kali
tender saja.
2. Bank garansi untuk jaminan penerima panjer/uang muka/voorschot.
Dalam suatu kontrak kerja/pembelian suatu proyek/barang,
adakalanya pemilik proyek/barang memberikan uang muka/barang
kepada pelaksana proyek/pembeli barang lebih dahulu sehingga atas
uang muka/penyerahan barang tersebut diperlukan adanya bank
garansi.
3. Bank garansi untuk bea dan cukai guna penangguhan bea masuk.
Bank garansi jenis ini diberikan kepada importer yang memasukan
barang ke dalam negeri. Bank garansi untuk importir tersebut
144
biasanya hanya dapat diberikan apabila L/C impornya dibuka melaui
bank penerbit bank garansi.
4. Bank garansi untuk bea dan cukai guna penangguhan pembayaran
pita cukai/tembakau. Bank garansi jenis ini biasanya diberikan
kepada perusahaan-perusahaan rokok besar yang bonafid.
5. Bank garansi untuk penyalur/agen/dealer/depot holder sehubungan
dengan transaksi yang bertalian dengan dalam rangka penunjukan
oleh produsen (Uniliver, dan sebagainya) maupun non produsen
(Bulog).
6. Lain-lain jenis bank garansi yang diperkenankan oleh peraturan BI
maupun Peraturan Pemerintah.
Penyelesaian Bank Garansi
1. Tanpa Klaim, Bank garansi berakhir apabila:
a. Batas tanggal berkahirnya bank garansi telah dilampui tanpa ada
klaim sampai dengan batas yang ditetapkan dalam bank garansi.
b. Berakhirnya/selesainya perjanjian pokok, yakni perjanjian/
kontrak yang dijamin oleh bank garansi tersebut.
Dalam hal bank garansi berakhir tanpa klaim, ditetapkan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Satu hari setelah batas waktu pengajuan klaim, bank penerbit
bank garansi harus segera membuat surat pemberitahuan tentang
berakhirnya bank garansi dan batas waktu pengajuan klaim
kepada:
 Pemegang surat asli bank garansi (pihak penerima bank
garansi).
 Nasabah pemohon bank garansi (pihak yang dijamin).
Dalam surat tersebut, kepada nasabah yang diberi jaminan bank
sekaligus diberitahukan agar menyelesaikan setoran jaminan (bila
ada) dan pengambilan kembali berkas-berkas jaminan bank
garansi.
b. Meskipun secara yuridis keharusan pengembalian surat asli bank
garansi bukan merupakan syarat mutlak bagi penyelesaian bank
garansi, surat asli bank garansi tersebut harus dikembalikan
kepada bank penerbit bank garansi untuk mencegah
145
penyalahgunaan bank garansi tersebut oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab.
Dalam hal ada permohonan perpanjangan bank garansi, sesuai
dengan ketentuan harus diberikan atau dibuatkan bank garansi baru,
yakni karena bank garansi tidak boleh memuat kata-kata yang dapat
diartikan sebagai perubahan tanggal berakhirnya bank garansi.
Artinya, warkat bank garansi yang jatuh tempo tidak dapat
diperpanjang.
Dalam rangka perpanjangan bank garansi, ditentukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Penerbitan kembali bank garansi dengan nominal sama seperti
bank garansi lama, karena kontrak/kerja sama belum selesai
sepenuhnya.
b. Penerbitan bank garansi kembali dengan nilai nominal lebih kecil
daripada bank garansi lama karena kontrak/kerja sama sudah
diselesaikan sebagian.
Permohonan untuk perpanjangan tersebut hendaknya
disampaikan kepada bank sebelum jangka waktu bank garansi lama
berakhir.
2. Dengan Klaim, dalam hal pihak yang dijamin oleh bank melakukan
wanprestasi, akan timbul klaim dari pihak penerima jaminan bank
dan berakibat harus dicairkannya bank garansi oleh bank penerbit
bank garansi selaku bank penjamin. Dalam kasus ini harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Klaim pembayaran jaminan bank hanya dapat diajukan oleh pihak
pemegang warkat jaminan bank apabila tidak melebihi jangkwa
waktu sesuai dengan klausul yang tercantum dalam surat bank
garansi (yakni 14 hari atau 30 hari sejak berakhirnya bank
garansi).
b. Penerima bank garansi harus menyerahkan dokumen asli surat
jaminan bank kepada bank penerbit bank garansi.
Dalam hal tejadi tuntutan ganti rugi/klaim berdasarkan jaminan
bank harus diperhatikan Pasal 1400 BW. Subrogasi atau penggantian
hak-hak si berpiutang oleh seorang pihak ketiga, yang membayar
kepada si berpiutang, terjadi baik dengan persetujuan maupun dengan
undang-undang Pasal 1401 BW
146
Penggantian itu terjadi dengan persetujuan:
1. Apabila si berpiutang dengan menerima pembayaran itu dari seorang
pihak ketiga menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hakhak
istimewanya dan hipotik-hipotik yang dipunyainya terhadap si
berhutang. Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan
dilakukan tepat pada waktu pembayarannya.
2. Apabila si berutang meminjam sejumlah uang untuk melunasi
hutangnya, dan menetapkan bahwa orang yang akan meminjam
hutang itu akan menggantikan hak-hak si berpiutang, agar subrogasi
ini sah baik perjanjian pinjaman uang maupun tanda pelunasan harus
dibuat dengan akta autentik dan dalam surat perjajian pinjam uang
harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi hutang
tersebut, dan selanjutnya surat tanda pelunasan harus menerangkan
bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang untuk itu
dipinjamkan oleh di berpiutang baru. Subrogasi ini dilaksanakan
tanpa bantuan si berpiutang.
Dari uraian diatas jelas bahwa apabila penerbit garansi terpaksa
harus membayar klaim/ganti rugi yang diajukan oleh pemegang
jaminan bank, harus dibuat akta subrogasi sebagaimana tersebut dalam
Pasal 1401 Ayat (1) BW. Berdasarkan akta subrogasi tersebut dibuat
akta perjanjian kredit antara bank penerbit bank garansi dengan pihak
nasabah yang dijamin dengan bank garansi. Kedua tindakan tersebut,
yakni pembuatan akta subrogasi maupun pengikatan kredit, menurut
Pasal 1401 Ayat (2) harus dibuat dengan akta autentik, yaitu dengan
pengikatan dihadapan notaris. Dalam hal bank garansi dicairkan dan
diubah menjadi perjanjian kredit harus dibuat rencana penyelesaian/
pelunasan kredit sebagaimana pemberian kredit biasa.
Kliring Antar Bank
Kliring adalah sarana perhitungan warkat antar bank guna
memperluas dan memperlancar lalulintas pembayaran giral. Pada saat
ini kliring yang dilaksanakan terbatas pada kliring antar bank yang
berada di suatu wilayah kliring. Ini disebut dengan kliring lokal. Untuk
memungkin bank-bank dapat memperhitungkan warkat melalui kliring
kepada bank-bank lain yang berada di wilayah kliring yang berbeda,
147
pada waktu yang akan datang secara bertahap akan diselenggarakan
pula kliring antar wilayah.
Penyelenggara kliring adalah Bank Indonesia atau bank lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk mengatur pelaksanaan perhubungan
utang-piutang antar bank melalui kliring.
Warkat kliring ialah alat lalulintas pembayaran giral yang
diperhitungkan dalam kliring dan terdiri atas:
1. Cek.
2. Bilyet giro.
3. Surat bukti penerimaan transfer dari luar kota.
4. Wesel bank untuk transfer.
5. Nota kredit.
6. Nota debet.
Kesemuanya dinyatakan dalam rupiah dan bernilai nominal penuh
(100% face value), serta telah jatuh tempo pada waktu telah
dikliringkan.
Penyertaan dalam Kliring
Setiap kantor Bank Umum dan bank yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia, ikut serta dalam kliring dengan cara:
1. Langsung, yaitu memperhitungkan warkat secara langsung dalam
pertemuan kliring.
2. Tidak langsung, yaitu memperhitungkan warkat dalam pertemuan
kliring melalui kantor pusat atau salah satu kantor cabangnya
menjadi peserta kliring.
Syarat Kliring
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kantor Bank Umum
dan bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk menjadi peserta
kliring adalah:
1. Kantor bank yang bersangkutan telah memperoleh izin usaha dari
Menteri Keuangan dan Bank Indonesia.
2. Keadaan administrasi, pimpinan, dan keuangan memungkinkan bank
yang bersangkutan memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam
kliring.
148
3. Simpanan masyarakat dalam bentuk giro dan kelonggaran tarik
kredit yang diberikan oleh kantor tersebut telah mencapai jumlah
sekurang-kurangnya 20% dari syarat modal disetor minimum bagi
pendirian bank baru di wilayah yang bersangkutan.
4. Menyetor jaminan kliring sebesar 10% dari kewajiban yang dapat
dibayar dan kelonggaran tarik kredit kepada penyelenggara.
Kewajiban ini hanya berlaku/dikenakan kepada kantor bank yang
baru menjadi peserta atau rehabilitasi sebagai peserta.
Bank Umum dan bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dalam
melakukan kegiatan kliring yang berada dalam suatu wilayah kliring
dan memenuhi syart-syarat tersebut diatas wajib ikut serta dalam
kliring.
Pengunduran diri dari Kliring
Meskipun telah memenuhi persyaratan di atas, bank peserta
kliring diperbolehkan mengundurkan diri dengan alasan-alasan antara
lain:
1. Mengalami kesulitan keuangan yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya syarat-syarat untuk diikutsertakan lebih lanjut dalam
kliring.
2. Kepentingan bank yang bersangkutan tidak menunjukkan keadaan
semestinya, misalnya tidak ada pengurus, atau tejadi perselisihan
dalam kepengurusan sehingga bank tidak dapat melakukan usaha
secara normal.
Ketentuan tentang pengunduran diri dari kliring:
1. Peserta yang mengalami kesulitan dengan alasan-alasan tersebut
diatas dapat mengajukan permohonan pengunduran diri dari kliring
kepada Bank Indonesia yang membawahkan wilayah kliring yang
bersangkutan sekurang-kurangnya dua hari kerja sebelumnya,
dengan melampirkan alasan-alasan secara jelas.
2. Pengunduran diri tersebut diumumkan oleh penyelenggara kepada
para peserta lainnya sekurang-kurangnya dua hari kerja sebelum
pengunduran diri tersebut dilaksanakan secara efektif.
3. Bila peserta yang mengundurkan diri dari kliring berstatuskan kantor
pusat, otomatis kantor-kantor cabang ikut mengundurkan diri.
149
Sebaliknya, bila yang mengundurkan diri berstatus kantor cabang,
pengunduran itu hanya berlaku untuk kantor cabang yang
bersangkutan, dan kantor pusat berikut kantor-kantor cabang lainnya
tetap ikut serta dalam kliring, sepanjang masih dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban dalam kliring.
Jaminan Kliring
Jaminan kliring ialah penyetoran oleh bank peserta kepada
penyelenggar sebesar 10% dari kewajiban yang harus dibayar dan
kelonggaran tarik kredit. Kewajiban ini hanya dikenakan kepada tarik
bank yang baru menjadi peserta atau baru direhabilitasi sebagai peserta
setelah dihentikan sementara penyertaannya dalam kliring. Jaminan
kliring wajib dipelihara selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
penyetoraannya kepada penyelenggara.
Ketentuan tentang kliring tercantum dalam SK Direksi BI No.
14/35/KEP/DIR/UPPB tanggal 10 September 1981 yang berlaku pada 5
Oktober 1981, dan SEBI No. SE.14/88/UPPB tanggal 10 September
1981.
Otomasi Kliring
Dengan semakin banyaknya jumlah peserta kliring dan jumlah
warkat yang dikliringkan, Direksi Bank Indonesia dengan SK-nya No.
21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988 telah menetapkan untuk
mengotomatisasikan penyelenggaraan kliring lokal. Sistem ini untuk
pertamakalinya diselenggarakan di Jakarta, kemudian menyusul
Surabaya, Medan, Semarang, dan tempat-tempat lainnya. Pelaksanaan
kliring yang diotomasikan di Jakarta mulai dilaksanakan pada bulan
April 1990, sesuai dengan SEBI No. 22/227/UPG tanggal 31 Maret
1990.
Perbedaan pokok antar kliring secara manual dan sistem otomasi
terletak pada proses pelaksanaannya, yaitu:
1. Dalam sistem manual proses pertukaran warkat, perhitungan, dan
penyusunan bilyet saldo kliring dilakukan oleh peserta, sedang
dalam sistem otomasi pelaksanaan proses dilakukan oleh
penyelenggara.
150
2. Sistem manual menggunakan warkat kliring biasa, sistem otomasi
menggunakan warkat kliring baku, yaitu warkat kliring yang telah
mencantumkan sandi-sandi tertentu dengan menggunakan MICR
(magnetic ink character recognition).
3. Dalam sistem manual perlu ditunjuk wakil peserta kliring, dalam
otomasi cukup dituntuk petugas yang menyerahkan dan menerima
warkat kliring.
Ketentuan-ketentuan pokok mengenai penyelenggaraan kliring
lokal (SEBI No. 14/8/UPPB tanggal 10 September 1981), yang
mencakup penyelenggaraan, peserta, kewajiban peserta, jenis warkat
yang dapat dikliringkan, penghentian sementara dari kliring dan
sebagainya, tetap berlaku.
Berkaitan dengan pengawasan bank syariah, berdasarkan UU No
10 tahun 1998 ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No 32/34/Kep/Dir dan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No 32/36/Kep Dir, Pengawasan terhadap bank syariah di
Indonesia dilakukan secara rangkap, yaitu83 :
1. Pengawasan umum terhadap bank syariah dilakukan oleh Bank
Indonesia, sama seperti bank konvensional. Bank Indonesia
bertindak mengawasai bank syariah selaku pemegang otoritas
Pembina dan pengawas bank. Selain itu secara internal bank syariah
diawasi pula oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas, atau
Pengawas bank yang bersangkutan.
2. Pengawasan khusus terhadap bank syariah dilakukan oleh Dewan
Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah yang ada pada setiap
bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
Dewan Syariah Nasional dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia
yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan
kesesuaian produk, jasa dan kegiatan usaha bank dengan prinsip
syariah. Sedangkan Dewan Pengawas Syariah berkedudukan di
kantor pusat bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah. Dewan Pengawas Syariah berfungsi :
83 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal 58
151
a. Mengawasi kegitan usaha bank syariah agar sesuai dengan prinsip
syariah;
b. Dalam melaksanakan fungsi tersebut Dewan Pengawas Syariah
wajib mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional;
c. Kedudukan Dewan Pengawasa syariah bersifat independent yang
dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional, dengan tugas yang diatur
oleh Dewan Syariah;
d. Dewan pengawas Syariah wajib dimiliki oleh setiap bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pengaturan Perbankan Syariah dalam Undang-undang
Perbankan Indonesia dimualai pada tahun 1992, yaitu dengan
ditentukannya dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Undang-undang ini memberikan kesempatan pada bank
untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan
Undang-undang No. 7 tahun 1992 itu telah direspon dengan
didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992.
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sama sekali belum
menggunakan secara istilah tegas bank syariah atau bank Islam dan
perbankan syariah atau perbankan Islam. Penyebutannya masih
disamarkan dengan menggunakan istilah “prinsip bagi hasil”
Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 hanya disebutkan
kemungkinan bank melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil, tetapi tidak ada ketentuan-ketentuan lain yang lebih rinci
mengenai bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang merupakan undangundang
yang mengubah dan menambah Undang-undang No. 7 Tahun
1992 mengatur beberapa hal berkaitan dengan bank syariah. Namun
demikian ketentuan-ketentuan rinci dan lengkap mengenai bank-bank
yang melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah dirasakan
belum memadai dalam menunjang pertumbuhan dan pengembangan
perbankan syariah di Indonesia.
Bank Indonesia melihat bahwa bagi pengembangan perbankan
syariah di Indonesia perlu dibuat undang-undang tersendiri tentang
perbankan syariah di luar undang-undang Perbankan itu namun perlu
dilakukan penelitian dan pengkajian terlebih dahulu bahwa maksud
Bank Indonesia itu secara obyektif memang beralasan.
152
Menurut Sultan Remy Syahdaeni,84 Indonesia dan negara-negara
lain yang berkeinginan untuk memberikan kesempata maraknya
perkembangan perbankan syariah, harus memiliki undang-undang
tersendiri bagi perbankan syariah yang terlepas dari Undang-undang
Perbankan. Perbankan syariah tidak mungkin berkembang dengan baik
apabila tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan yang
memadai. Diperlukannya undang-undang tersendiri bagi perbankan
syariah di luar undang-undang Perbankan yang telah ada dengan
alasan-alasan sebagai berikut:85
1. Banyak jenis jasa bank syariah yang tidak atau tidak dapat
ditawarkan oleh bank konvensional. Hal itu adalah karena Undangundang
Perbankan melarang Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat melakukan kegiatan tersebut. Menurut Pasal 10 Undangundang
Perbankan, Bank Umum hanya boleh melakukan usahausaha
yang jenis-jenisnya telah ditentukan secara limitatif dalam
Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Perbankan. Sedangkan Bank
Perkreditan Rakyat hanya boleh melakukan kegiatan usaha yang
jenis-jenisnya telah ditentukan dalam Pasal 13 dan dilarang
melakukan kegiatan yang ditentukan dalam Pasal 14 Undangundang
Perbankan.
Antara lain, Bank Umum dilarang melakukan penyertaan modal
kecuali pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan. BPR
84 Sultan Remy syahdaeni, Op.Cit.,hal
85 Menurut Arie Moodoto untuk mendukung perkembangan perbankan syariah di
Indonesia perlu political will, political commitment dan political courage
pemerintah, misalnya perlu adanya salah satu dari Bank BUMN yang segera
dikonversi menjadi Bank Syariah penuh, ada Deputi Gubernur Bank indonesia
! khusus menangani Perbankan Syariah saja, UU Tentang Perbankan Syariah
mendesak untuk segera dituntaskan. Kondisi Umum Perbankan Syariah
Indonesia dari Sisi Pengamat, makalah pada Seminar Nasional Strategi
Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, Bank Indonesia,
Jakarta, 15 September 2005, hal 24
153
dilarang melakukan penyertaan modal, sekalipun pada bank dan
lembaga keuangan. Sedangkan salah satu jenis kegiatan usaha bank
syariah ialah transaksi penyertaan antara lain dalam bentuk
musyarakah atau syarikah atau syrkah atau yang di dalam bahasa
Inggris disebut partnership atau participation financing.
Yang juga dilarang dilakukan oleh bank konvensional adalah
melakukan transaksi jual-beli barang, sedangkan salah satu jenis
usaha perbankan syariah adalah melakukan transaksi jual-beli
barang antara lain dalam bentuk yang disebut murabaha, bai’salam
dan istisna’.
Bank syariah dapat melakukan transaksi leasing yang disebut
ijarah dan ijarah wa iqtina yang menurut Undang-undang
Perbankan tidak boleh dilakukan oleh bank konvensional.
2. Sebagian besar dari assets perbankan konvensional adalah dalam
bentuk fixed interest instruments yang relatif mudah dinilai. Di
samping itu, perbankan tradisionil memiliki metode untuk
melakukan penilaian asset perbankan konvensional yang telah
diakui apabila asset tersebut menjadi tidak produktif (menjadi nonperforming
loan). Sebaliknya adalah sulit sekali untuk menilai asset
perbankan syariah misalnya yang berupa saham di suatu perusahaan
patungan yang dibentuk berdasarkan perjanjian musyarakah.
3. Sistem akuntansi bank syariah berbeda dengan bank konvensional.
Sehingga dengan demikian, maka laporan keuangan, yaitu Neraca
dan Laba/Rugi, dari bank syariah juga berbeda dengan bank
konvensional.
4. Ketentuan perpajakan bagi perbankan konvensional tidak diterapkan
begitu saja bagi perbankan syariah. Bunga (interest) yang
dibebankan oleh perbankan konvensional merupakan pendapatan
yang pasif (passive income), sedangkan keuntungan yang
merupakan pendapatan bagi perbankan syariah merupakan earned
income yang dilihat dari aspek hukum pajak harus diperlakukan
berbeda. Selain itu, di dalam trade financing, yang merupakan jasa
perbankan syariah, berlaku ketentuan bahwa pengalihan hak terjadi
dua kali, yang pertama dari penjual kepada bank dan yang kedua
terjadi kemudian yaitu dari bank dan yang kedua terjadi kemudian
yaitu dari bank kepada pembeli, sehingga dengan demikian terhadap
154
rekening itu dikenai pajak dua kali yang akibatnya lebih lanjut akan
mengurangi pendapatan dari perusahaan.
5. Rambu-rambu kesehatan (prudential standards) yang diberlakukan
bagi bank-bank konvensional yang melakukan kegiatan perbankan
syariah.
6. Ketentuan-ketentuan atau pengaturan mengenai bank syariah dan
perbankan syariah di dalam Undang-undang Perbankan masih
sangat sumir, dan jauh dari lengkap bagi kebutuhan pengembangan
dan pertumbuhan perbankan syariah.
7. Tumbuhnya perbankan syariah bukanlah merupakan fenomena
sementara saja tetapi harus dilihat sebagai fenomena yang akan
berlanjut seterusnya dan akan berkembang makin lama makin besar
dan meluas di seluruh dunia.
Sebagai perbandingan dapat dilihat pengaturan bank syariah di
Malaysia. Di Malaysia, dasar hukum bagi pendiri bank Islami (Islamic
bank) adalah Islamic Banking Act (IBA) yang mulai berlaku pada 7
April 1983. IBA memberikan kewenangan kepada Bank Negara
Malaysia, yaitu Bank Sentral Malaysia, untuk mengawasi dan mengatur
bank-bank syariah seperti halnya terhadap bank-bank lain. Undangundang
ini merupakan undang-undang yang khusus mengatur mengenai
perbankan syariah dan merupakan undang-undang yang terpisah dari
Undang-undang Perbankan.
Mengingat transaksi kauangan berdasarkan syariah diharapkan
tidak hanya akan dikembangkan melalui perbankan saja, tetapi juga
melalui finance companies dan merchant bank, yaitu lembaga-lembaga
keuangan yang melakukan kegiatan usaha invesment banking, maka
perlu dipikirkan untuk membuat Undang-undang tentang Lembaga
Keuangan Syariah daripada Undang-undang tentang Perbankan Syariah.
Undang-undang tentang Lembaga Keuangan Syariah sudah barang
tentu akan mencakup pula pengaturan mengenai bank-bank syariah.

No comments :

Post a Comment