Friday, September 13, 2013

PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA



Tujuan Instruksional :
Setelah membaca bab tentang Perbankan Syariah di Indonesia,
diharapkan pembaca akan dapat menjelaskan Sejarah perbankan
syariah dn Kedudukan Bank syariah dalam sistem perbankan nasional
karena pada bab ini akan diuraikan tentang tentang Bunga bank
menurut Al Qur’an, hadist dan Fatwa Majelis Ulama, Sejarah
perbankan syariah di dunia dan di Indonesia, Lima konsep akad pada
bank syariah, perbedaan bank syariah dengan bank konvensional,
Dasar hukum bank syariah, Produk bank syariah dalam penghimpunan
dana ( funding ), penyaluran dana ( landing ) dan jasa-jasa dalam lalu
lintas pembayaran ( Fee based ), dan Fungsi dan
Wewenangan DPS
A.Perbankan Syariah sebagai Lembaga Keuangan
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa untuk
menggerakkan aktivitas ekonomi diperlukan lembaga keuangan.
Keberadaan lembaga keuangan dalam Islam sangat vital karena
kegiatan bisnis dan ekonomi tidak akan berjalan tanpa adanya lembaga
keuangan. Lembaga Keuangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok, yaitu Lembaga Keuangan Bank46 ( LKB ), Lembaga
Keuangan Bukan Bank ( LKBB ) dan Lembaga Pembiayaan.
Penggolongan Lembaga keuangan, lembaga keuangan bank, contoh
lembaga keuangan bukan bank dan lembaga pembiayaan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini
46 Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja. Dulu para penukar uang
( money changer ) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan tempat para
kelasi kapal datang dan pergi. Menurut catatan sejarah usaha perbankan sudah
dikenal lebih kurang 2.500 tahun sebelum masehi dalam masyrakat Mesir Purba dan
Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Plato ( 427 – 347 SM ) sudah
berbicra tentang bahaya rente. M.Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah
Perbankan : Sebuah Tilikan Antisipatif, Raja Grafindo Persada,Jakarta 1995, hal.
142.
46
Secara teoritis teknis, sebenarnya Islam tidak membedakan
antara LKBB, LKB dan Lembaga Pembiayaan. Namun demikian Islam
menetapkan bermacam-macam akad (perjanjian) yang dapat digunakan.
Macam-macam akad ini dapat digunakan dalam transaksi yang
dilakukan pada LKBB,LKB dan Lembaga Pembiayaan.
Di Indonesia perkembangan bank syariah47 diikuti dengan
berkembangnya lembaga keuangan syariah di luar struktur perbankan,
47 Di saat perekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankan belum
tampak akan pulih, Perbankan Islam menunjukkan fenomena baru yang
perkembangannya telah mengejutkan para pengamat perbankan konvensional. Bank
– bank besar dari negara non muslim telah memasuki pasar perbankan Islam dengan
membuka Islamic Window, tidak kurang dari City Bank, Manhattan Bank, ANZ
Bank dan Jardin Fleming telah membuka Islamic window agar dapat berkiprah
memberikan jasa – jasa perbankan Islam. Sahril Sabirin mengatakan bahwa
pengalaman selama krisis ekonomi ini memberikan suatu pelajaran berharga bagi
kita bahwa prinsip risk sharing ( berbagi risiko ) atau profit and los sharing ( bagi
hasil ) merupakan prinsip yang dapat meningkatkan ketahanan satuan – satuan
LEMBAGA
KEUANGAN
BUKAN BANK
BANK
Pasar Modal
Pegadaian
Leasing
Modal Ventura
LEMBAGA
KEUANGAN
BANK
Bank Umum
LEMBAGA
KEUANGAN
BPR
Asuransi
LEMBAGA
PEMBIAYAAN
47
antara lain : Asuransi Takaful, Pasar Modal Syariah, Pegadaian
Syariah, dan Baitul Maal wat Tamwil ( BMT), Perkembangan bank
syariah pada tiga tahun terakhir ini relatif sangat cepat. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa indikator, baik indikator keuangan,seperti jumlah
aktiva, dana pihak ketiga, volume pembiayaan, maupun dilihat dilihat
dari kelembagaan, dan jaringan kantor bank.
Begitu halnya dengan asuransi syariah. Jika pada beberapa tahun
yang lalu perusahaan asuransi yang menawarkan produk halal baru
asuransi takaful, belakangan ini perusahaan asuransi syariah yang lain
mulai tumbuh, seperti Asuransi Syariah Mubarakah, Asuransi Jiwa
Asih Great Estern, dan MAA Life Insurance ikut menyemarakan usaha
perasuransian di Indonesia. Di bidang lembaga keuangan lain, pada
tahun 1997 mulai diluncurkan Reksadana Syariah disusul dengan
berdirinya Jakarta Islamic Index pada tahun 2000.
Telah dimaklumi, bahwa terdapat perbedaan yang sangat prinsip
antara lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah.
Perbedaan yang sangat prinsip tersebut dilandasi oleh perbedaan
filosofi sebagai orientasi dasar ekonomi. Orientasi dasar ekonomi Islam
dilandaskan pada asas ketuhanan ( tauhid ), yaitu adanya hubungan dari
aktivitas ekonomi, tidak saja dengan sesama manusia, tetapi juga
dengan tuhan sebagai pencipta.
Dari landasan tauhid ini timbul prinsip – prinsip dasar bangunan
kerangka sosial, hukum, tingkah laku, di antaranya prinsip khilafah (
kepemimpinan ), keadilan ( ‘adalah ), kenabian / keteladanan (
nubuwwah ), persaudaraan ( ukhuwwah ), dan kebebasan yang
bertanggung jawab ( Al Huriyah wal mas’uliyyah ).48 Di samping itu
ada nilai – nilai instrumental, yaitu larangan riba49, kewajiban zakat,
kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran negara. ). Dengan
demikian prinsip utama yang dianut oleh lembaga keungan syariah
ekonomi. Sutan Remy Syahdaeni. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hlm. Xvii.
48 Law Office of Remy & Darus. 2002. Naskah Akademik Rencana Undang – undang
tentang Perbankan Syariah, Jakarta, hlm. 6
49 Dalam kosa kata bahasa Inggris, riba biasanya diterjemahkan sebagau usury ,
sedangkan bunga diterjemahkan sebagai interest.
48
adalah tanpa riba ( bunga ) dalam berbagai bentuk transaksi,
menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada
memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah, dan memberikan
zakat50.
Dari nilai instrumental di atas, lahir akad / perjanjian yang
dilandasi oleh prinsip – prinsip dasar bangunan ekonomi tersebut. Akad
/ perjanjian dalam aktivitas ekonomi tersebut dapat digunakan dalam
praktik lembaga keuangan syariah. Akad yang digunakan membawa
pengaruh terhadap banyak hal, antara lain hubungan hukum antara
bank dengan nasabah, produk yang ditawarkan oleh bank, dan pricing (
sistem penghitungan / pembagian keuntungan / insentif yang diperoleh
bank maupun nasabah.
B. Sekilas tentang Riba dan Bunga Bank
Sebelum diuraikan perkembangan lembaga keuangan syariah di
Indonesia, akan diuraikan terlebih dahulu beberapa pandangan tentang
riba51. Hal ini penting, karena semua akad atau transaksi pada lembaga
keuangan syariah dilandasi oleh adanya larangan riba. Pandangan
50 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek, Alvabet, Jakarta, 1999. hal. 29
51Riba menurut etimologi berarti az ziyaadah ( tambahan ).Rahmat Syafe’I, Fiqh
Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2004,
hal. 259. Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan. Namun yang dimaksud
riba dalam ayat Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibernarkan syariah.yang dimaksud
dengan transaksi pengganti atau penyeimbang, yaitu transaksi bisnis atau komersial
yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual
beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi simpan pinjam dana secara
konvensional, si pemberi pnjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan
factor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di
sini ialah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak harus, mutlak, pasti
untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Muhammad Syafi’I Antonio,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Tazkia Cendekia, Jakarta, 2001, hal. 38.
49
tentang riba akan diuraikan menurut Al Qur’an, Al Hadist, agama
samawi, dan riba dalam pandangan ekonomi.52
1. Larangan Riba dalam Al Qur’an53
Al Qur’an banyak memuat ayat yang berisi larangan riba
disertai dengan penyebab, akibat, dan ancaman bagi orang yang
memungut riba. Ayat tersebut atara lain : Q.S. Ar Rum ayat (39), Surat
Al Baqarah ayat ( 275 s.d. 280 ), Q. S. Ali Imran ayat ( 130 ), Q.S. An
Nisa ayat ( 161).
Arti Surat Ar Ruum ayat 39 :
“Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada
harta manusia,maka riba tidak menambah disisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridlaan Allah, maka orang-orang ( yang berbuat
demikian ) itulah orang yang melipatgandakan ( pahalanya ).
Arti Q.S. Al Baqarah ayat 275 :
“Orang – orang makan ( mengambil riba ) tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan
karena tekanan penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu
adalah disebabkan mereka berkata ( berpendapat )
bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepada-Nya larangan dari
tuhannya lalu terus berhenti ( dari mengambil riba ), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu ( sebelum datang
larangan ) dan urusannya ( terserah ) kepada Allah. Orang yang
mengurangi ( mengambil riba ) maka orang–orang itu adalah
penghuni penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya”.
Arti Q.S. An Nisa Ayat ( 161) :
52 Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia. Pustaka Grafiti. Jakarta.hal. 6.
53 Ayat-ayat Al qur’an berbicara tentang riba, baik pada ayat yang turun pada priode
Mekkah ( ayat Makkiyah ) maupun ayat yang turun pada periode Madinah ( ayat
Madaniyyah ). LPPM UNISBA, Riba dan Perbankan, Bandung, 1993, hal. 2
50
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang bathil, Kami telah
menyediakan untuk orang – orang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih “.
2. Larangan Riba dalam Al hadist 54:
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10
Hijriah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang
melarang riba :
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhanmu dan Dia Pasti
akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil
riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (
uang pokok ) kamu adalah hak kamu. Tidak akan menderita ataupun
mengalami ketidakadilan”.
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda, Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan.
Sahabat bertanya,’ apakah itu Ya rasulullah ? Jawab Nabi (1)
syirik ( mempersekutukan Allah ); (2) berbuat sihir ( tenung ); (3)
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali yang hak; (4)
makan harta riba; (5) makan harta anak yatim; (6) melarikan diri
dari perang jihad pada saat berjuang ; (7) menunuduh wanita
mukminat yang sopan ( berkeluarga ) dengan tuduhan zina55.
3. Larangan Riba dalam Agama Samawi (Yahudi- Nasrani )56
Orang – orang yahudi dilarang mempraktikan memungut bunga.
Hal ini terdapat dalam Old Testament ( Perjanjian Lama ), maupun
Undang – undang Talmud. Kitab Exodus, Deuteronomy maupun
54 Syahdaeni, Remy.Ibid, hal. 8
55 Rahmat Syafe’I Op.cit., hal. 261
56 Sampai abad 13 ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominant, riba dilarang
oleh gereja dan hukum Canon. Namun akhir abad 13 pengaruh gereja ortodox
mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Di Inggris pelarangan riba
di cabut tahun 1545 pada zaman pemerintahan Raja Hendri VIII. Pada zaman
inilah istilah usury ( riba ) diganti dengan istilah interest ( bunga ). Muhammad,
Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta,
2002. Hal 29. Lihat pula Syahdaeni, Remy.Op.Cit, hal. 9
51
Levicitus mengatur pula tentang larangan riba, misalnya Pasal 23 ayat
(19) Kitab Deuteronomy ( ulangan ) menyebutkan :
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang
maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan “.
Walaupun dalam Kitab Perjanjian baru tidak ditegaskan tentang
larangan bunga, namun orang nasrani ( Kristiani ) memandang bahwa
beberapa ayat dalam Kitab tersebut harus dijadikan pedoman tentang
larangan riba, misalnya dalam Lukas 6 : 34 – 5 mengecam adanya
praktik riba.
Beberapa Pendeta memberikan pendapatnya tentang bunga,
maisalnya St. Basil ( 329 – 379 ) menganggap mereka yang memakan
bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. St. Ambrose
mengecam pemakan bunga sebagai penipu atau pembelit ( rentenir ).
4. Riba Menurut Teori Ekonomi
Para ahli ekonomi yang terkenal, baik itu yang klasik, neo klasik
dan modern semua sependapat bahwa pungutan bunga merupakan
hambatan bagi perkembangan dan pertumbuhan proyek-proyek yang
memberikan keuntungan keuntungan kecil. Bunga menyebabkan
kesulitan yang sangat dalam bahkan tidak memungkinkan, baik bagi
pemerintah local, maupun nasional, khususnya dalam perkembangan
ekonomi, untuk mencetuskan gagasan atau melanjutkan proyek-proyek
kesejahteraan sosial yang baru dengan margin keuntungan yang rendah
yang bagi masyarakat nilainya tidak dapat diukur.57
Pakar ekonomi berpandangan bahwa riba membawa dampak
inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut
disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku
bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang
akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lain adalah bahwa hutang,
dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya
bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari
ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut
dibungakan.
57 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam ( Economic Doctrnes of Islam ) Jilid 4,
Penerjemah Nastangin, dan Soeroyo, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1996, hal. 340
52
Awal tahun ini dikenal suatu pendekatan terbaru dalam ilmu
ekonomi yang dikenal dengan Paradidgma Baru dalam Ekonomi
53
Moneter yang digagas oleh Joseph E. Stiglitz ( Pemenang Nobel
Ekonomi tahun 2001 ) dan Bruce Greenwald dalam bukunya
“Toward New Paradigm in Monetery Economics” . Paradigma ini mirip
konsep ekonomi Islam. Mengenai bunga menurut paradigma ini
kebijakan moneter konvensional yang menggunakan instrumen suku
bunga untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar, harus diubah
dengan menjadi kebijakan yang berdasarkan kepada mekanisme
permintaan dan penawaran kredit. Dengan demikian focus teori
ekonomi moneter terbaru menurutnya adalah pengaturan ketersediaan
kredit bukan penghaturan suku bunga ataupun jumlah uang yang
beredar. 58
Bunga bank menurut Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Intersat/Fa’idah)
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba.
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam
transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok
tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di
muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi
karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya,
dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba
yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan
demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk
Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di
lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan
Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan
konvensional
58 Harian Umum Republika, 16 Oktober 2004
54
Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga
keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan
transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan
Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga
keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
C. Dasar Hukum Bank Syariah di Indonesia
Selain perubahan tersebut di atas, pada undang-undang ini
terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih
besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Dari undangundang
tersebut dapat disimpulkan, bahwa sistem perbankan syariah
dikembangkan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan
syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional
(dual banking system), mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan
secara lebih luas, terutama dari segmen yang selama ini belum dapat
tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan
sistem bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha
berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang
diterapkan adalah hubungan antar investor yang harmonis (mutual
investor relationship). Sementara dalam bank konvensional konsep
yang diterapkan adalah hubungan debitor-kreditor (debitor to
creditor relatonship).
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang
memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan
pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual interest
effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif,
pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memerhatikan
unsur moral.
Undang-undang ini juga memberikan penegasan terhadap
konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan ”Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun
1992, menjadi ”Bank Berdasarkan Prinsip Syariah” . penyebutan
55
tersebut terdapat pada Pasal 1 ayat (3), ayat (4), ayat (12), dan ayat (13).
Bahkan pada Pasal 1 ayat 13 yang menerangkan tentang pengertian
prinsip syariah dalam perbankan ini juga terdapat penguatan kedudukan
Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1
ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut:
”bahwa prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan
dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain,
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
Iqtina’)”.
Masalah yang diatur undang-undang ini selain berupa penegasan
terhadap eksistensi perbankan Islam di Indoesia adalah menyangkut
kelembagaan dan operasional bank Islam. Secara keseluruhan
permasalahan hukum tersebut antara lain meliputi:59
59 Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian diikuti dengan
dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan
(SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat
dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional
bank berdasarkan prinsip syariah dikeluarkan SK Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dan SK
Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004
tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah dan PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Pinsip Syariah dan PBI No. 6/17/PBI/
2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah.
56
1. Macam bank Islam,
2. Pendirian bank Islam,
3. Konversi bank konvensional menjadi bank Islam,
4. Pembukaan Kantor Cabang, yang meliputi sisi keuangan dan modal
kerja,
5. Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional (DPS), yang
menyangkut mengenai fungsi DPS sebagai Penasihat, Mediator, dan
Perwakilan,
6. Kegiatan usaha dan produk-produk bank Islam,
7. Pengawasan Bank Indonesia terhadap bank Islam,
8. Sanksi-sanksi pidana dan administrative.Pemberlakuan Undang-
Undang No. 10 Tahun 199860 ini merupakan momen pengembangan
perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang tersebut membuka
kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara
60 Pada periode ini juga telah diatur mengenai ketentuan kliring instrumen moneter
dan pasar uang antarbank. Di dalam penjelasan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999
jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia telah diamanatkan,
bahwa untuk mengantisipasi perkembangan prinsip syariah, maka menjadi tugas dan
fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lintas
penyebaran antarbank serta pelaksanaan Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip
Syariah (PUAS), telah dikeluarkan peraturan tersendiri sehubungan dengan sifat
khusus dari sistem perbankan syariah. Di antara peraturan tersebut antara lain:
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/4/PBI/2000 Tanggal 11 Februari 2000
tentang Kliring bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Bank Umum
Konvensional, PBI No. 2/7/PBI/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib
Minimum (GWM), yang kemudian khusus tentang perbankan syariah diatur lebih
lanjut oleh PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan
Valuta Asing bagi bank umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah dan PBI No. 2/8/PBI/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar
Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah. Demikian pula untuk mengatur
tentang pengelolaan likuiditas Bank Islam, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI
No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) dan ketentuan tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi
Bank Islam (FPJPS) pada PBI No. 5/3/PBI/2003 yang dikeluarkan pada tanggal 4
Februari 2003. Selain itu, agar profitabilitas pengelolaan dana bank-bank Islam
dapat ditingkatkan, Bank Indonesia telah melakukan koordinasi dengan instansi
pemerintah yang terkait, yaitu Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan Nonbank, Direktorat Jenderal Asuransi, Bapepam, dan sebagainya.
57
lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh
bank konvensional. Dengan kata lain, bank konvensional dapat
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Landasan
dan kepastian hukum yang kuat bagi para pelaku bisnis serta
masyarakat luas ini meliputi:
a. Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan Bank Islam
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998. Pasal tersebut menjelaskan, bahwa
Bank Umum dapat memilih untuk melakukan kegiatan usaha
berdasarkan sistem konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Dalam hal bank umum
melakukan kegiatan usaha berdasarkan syariah, maka kegiatan
tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang
khusus, yaitu Unit Usaha Syariah dan Kantor Cabang Syariah.
Sedangkan, BPR harus memilih kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah saja, atau berdasarkan sistem konvensional saja.
b. Bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang
syariah wajib melaksanakan:
1) Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS);
2) Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan oleh
Dewan Syariah Nasional (DSN); dan
3) Menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu
rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk
membayar biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan
operasional maupun nonoperasional Kantor Cabang Syariah
(KCS).
Namun demikian, pada periode Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang
masih harus diatur lebih lanjut dan pengaturan tersendiri yang perlu
dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang.
Masalah-masalah tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bank Islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda.
2. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah.
3. Pengawasa bank Islam masih berdasarkan pendekatan konvensional.
4. Bank Sentral memakai standar interest.
5. Belum memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam.
58
6. Hukum Perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan
legitimasi.
Dari masalah-masalah tersebut, maka masih dirasakan
pentingnya dikeluarkan ketentuan tersendiri tentang Sistem Perbankan
Syariah. Untuk itulah maka diupayakan pembuatan Rancangan Undang-
Undang tersendiri tentang Perbankan Syariah yang diharapkan sudah
dapat disahkan sekitar tahun 2006.10 Demikian pula perlu dipikirkan
kedudukan perbankan syariah dalam pengaturan tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang akan datang, sehingga jelas sistem pengawasan
yang akan diterapkan untuk Lembaga Keuangan Syariah, khususnya
Bank Islam. Hal ini berkaitan dengan pengawasan terhadap kesesuaian
operasional bank Islam dengan ketentuan Hukum Islam yang menjadi
dasar operasionalnya.
Setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, maka dasar hukum beroperasinya perbankan syariah di
Indonesia adalah UU No 21 Tahun 2008 sebagaimana telah diuraikan
pada bab sebelumnya.
D.Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan perbankan syariah di Dunia
internasional. Pertumbuhan Perbankan Syariah di Dunia Internasional
dimulai Sejak tahun 1970an,61 Perbankan syariah telah muncul sebagai
61 Yuslam Fauzi membagi perkembangan perbankan syariah dalam tiga periode, 1.
Fase Awal ( 1972 – 1975 ) Peningkatan pendapatan dan likuiditas Negara Islam
akibat “ oil Boom”, parallel dengan hal tersebut adalah berdirinya IOC. Pendirian
bank syariah yang pertama, yaitu Dubai Islamic Bank ( 1975 ), dilanjutkan dengan
Fasisal Islamic Bank di Mesir dan Sudan, serta Kuwait Finance House di Kuwait. 2.
Fase Perluasan ( 1976- 1980 )Penyebaran Bank Islam dari Timur Tengah ke
Malaysia dan Eropa, 3. Fase Pematangan ( 1983 – sekarang ) Pendirian Bank Islam
di Denmark, Luxemburg, Swiss, Inggris dan Indonesia. Menurut perkiraan General
Council for Islamic Banks and Financial Insititutions ( GCIBFI ), institusi keuangan
syariah mengelola assets + $ 260 milyar, dan sekitar $ 200 milyar s.d. $ 300 milyar
dikelola lembaga keuangan berbasis Islamic Windows and subsidiaries of
international banks di Pusat keuangan dunia seperti New York, London, Paris,
Geneva, dan Tokyo. Perkembangan, Peluang dan Tantangan Perbankan Syariah di
59
suatu kenyataan yang baru di dalam kancah keuangan internasional.
Bank-bank syariah dalam bentuknya yang sekarang untuk pertama
kalinya didirikan di Dubai dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun
1973 oleh sekelompok pengusaha muslim dari beberapa negara. Dalam
waktu 10 tahun sejak pendirian bank tersebut telah muncul lebih dari 50
bank yang bebas bunga. Di luar negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, bank-bank tersebut telah didirikan pula
di Denmark, Luxembourg, Switzerland, dan The United Kingdom.
Tumbuhnya bank-bank tersebut karena kebutuhan akan jasa-jasa
perbankan syariah makin banyak. Sekalipun baru tahun 1970an
perbankan syariah dalam bentuknya yang sekarang ini muncul, tetapi
praktik-praktik dasarnya dan asas-asasnya berasal jauh sebelum itu,
yaitu berasal dari abad ke-7 atau 1400 tahun yang lampau, karena
falsafah dan asas-asasnya telah digariskan di dalam al Quran dan
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW62 sebagaimana ternyata dari
berbagai Hadits beliau. Asas-asas tersebut kemudian dipraktikkan dan
berkembang di tahun-tahun permulaan Islam timbul. Pedagangpedagang
muslim telah tersebar di berbagai bagain dunia beradab, yaitu
di Spanyol, di Mediterranean, dan di negara-negara Balkan. Para
pemodal dan pengusaha Eropa kemudian telah mengambil dan
menerapkan beberapa asas tersebut.63
Sikap dari masyarakat keuangan internasional terhadap sistem
perbankan syariah telah berkembang sejak tahun 1970an itu. Perbankan
Indonesia, makalah pada Seminar Nasional “ Strategi Pengembangan Lembaga
Keuangan syariah di Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 15 September 2005, hal. 4
62 Praktik fungsi perbankan sudah dilaksanakan oleh para sahabat nabi, seperti zubair
bin al Awwam, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Zubair, mereka biasa menerima
pinjaman dan kemudian mengembalikan pinjaman tersebut, melakukan pengiriman
uang ke Kufah dan Irak.umar bin Khattab pernah menggunakan alat tukar semacam
‘cek’ untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak, dengan alat tukar ini
kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Maal yang ketika itu diimpor dari
Mesir.Law Office of Remy and Darus, Naskah Akademik Rancangan Undangundang
tentang Perbankan Syariah, Jakarta, 2002, hal 42.
63 Sutan Remi Sjahdaini, Menyongsong RUU Perbankan Syariah : Perbankan Syariah
Suatu Alternatif Kebutuhan Pembiayakan Masyarakat, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 20, Agustus-September 2002, Hal 8
60
syariah terus tumbuh oleh karena nilai-nilainya yang berorientasi
kepada etika bisnis yang sehat. Dari konferensi Islamic Bank yang
diselenggarakan di Singapura pada Agustus 1998, dapat diketahui
bahwa lembaga keuangan Islam mengalami perkembangan yang pesat
di dunia. Jumlahnya telah mencapai 200 buah, diantaranya 160 berupa
bank, dan sisanya berupa lembaga keuangan nonbank.
Perbankan syariah telah merambah dan diterima bukan saja di
negara-negara muslim tetapi juga di negara-negara non-muslim.
Negara-negara yang sebagain besar penduduknya bukan muslim telah
pula mengembangakan perbankan syariah. Kesempatan
pengembangannya di negara-negara non-muslim tersebut ternyata
sangat besar. Ketika diadakan Islamic Banking Conference di Toronto,
Kanada, pada tanggal 25 Mei 1995, Don Blankarn, mantan ketua
Special Committee on Banks and Banking dan mantan ketua the House
of Commons Finance Committee, telah mengemukakan “There is a
huge opportunity for Islamic banking and finance in Canada”.64
Bank-bank Islam telah berkembang dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 15% per tahun. Pada saat ini negara-negara Islam telah
mengelola dana sebesar US$170 miliar. Terdapat lebih dari 150
lembaga-lembaga keuangan Islam di 50 negara. Nasabahnya tersebar
meliputi Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Asia. Banyak
bank-bank syariah yang tumbuh dengan kokoh dan memperoleh
keuntungan.
Nocholas Kaiser, presiden dari Saturna Capital Corporation yang
berkedudukan di Bellingham, Washington, mengemukakan “I won’t
say that this is a major part of American finance, but it’s definitely
growing.” Saturna mengelola US$20 juta Amana Mutual Funds sesuai
dengan hukum Islam.
Sekalipun perbankan syariah telah memperlihatkan perkembangan
dan pertumbuhan yang sangat cepat, tetapi sampai saat ini belum ada
satu bank syariah yang telah termasuk ke dalam 100 bank terbesar di
dunia dilihat dari jumlah maupun modalnya. Para bankir syariah telah
64 Sutan Remi Sjahdaeni, Op.Cit., hal. 9
61
mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan teknik-teknik keungan
canggih yang paling mutakhir di dunia internasional, dan kemudian
telah mampu mengembangkan instrumen-instrumen investasi yang
bukan saja sangat menguntungkan tetapi juga sangat etis.
Bila dicermati jasa-jasa perbankan syariah ternyata bukanlah suatu
yang asing bagi mereka yang bergerak di dunia bisnis modern. Jasa-jasa
perbankan syariah itu pada hakekatnya menawarkan jasa-jasa yang
biasa diberikan perbankan konvensional, hanya saja tidak berdasarkan
bunga tetapi berdasakan profit and loss sharing principle. Bahkan
perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa yang jauh lebih banyak
daripada yang dapat ditawarkan oleh para perbankan konvensional,
karena perbankan syariah dapat juga menawarkan jasa-jasa yang
diberikan oleh lembaga keuangan non bank (finance company) yang
justru tidak dapat diberikan oleh perbankan konvensional. Dengan kata
lain, perbankan syariah dapat menawarkan baik jasa-jasa perbankan
konvensional maupun jasa finance company nonbank. Bahkan lebih
daripada itu, karena perbankan syariah dapat pula menawarkan jasa-jasa
yang ditawarkan oleh investment banking. Dengan kata lain, jasa-jasa
yang dapat diberikan oleh suatu bank syariah adalah kombinasi jasajasa
yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company dan
merchant bank (lembaga yang memberikan jasa investment banking).65
Dilihat dari variasi jasa yang dapat ditawarkan sebagaimana
dikemukakan di atas, perbankan syariah merupakan alternatif masa
depan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan masyarakat dunia di
samping bank-bank konvensional dan lembaga-lembaga pembiayaan
non bank. Potensi yang besar bagi kegiatan perbankan Islam, telah
membuka cakrawala baru bagi bank-bank yang berasal dari negaranegara
non-muslim untuk membuka Islamic division di bank tersebut.
Dengan kata lain, bank-bank tersebut melakukan baik kegiatan
perbankan konvensional dan perbankan syariah atau dengan kata lain
bank-bank tersebut telah menjadi dual system bank. Bahkan juga
banyak investment bank yang telah melakukan kegiatan usahanya
berdasarkan syariah (hukum) Islam, tetapi karena boleh melayani siapa
65 Sutan Remy Syahdaeny, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal 2
62
saja, baik kalangan muslim maupun non muslim, maka jasa-jasa
perbankan Islam telah dilihat oleh bank-bank internasional itu sebagai
alternatif pembiayaan bagi dunia usaha. Hal ini dilakukan misalnya oleh
Citicorp, Chase Manhattan Bank, ANZ Bank, Commersbank AG,
Deutsche Bank AG, Hongkong and Shanghai Banking
Corporation(HSBC), Bankers Trust, J.P. Morgan, dan Goldman Sachs.
Citicorp membuka unit Islamic Banking di Bahrain tahun 1996.
Standard Chartered Bank Malaysia Bhd bermaksud untuk membuka
divisi Islamic Banking dalam 2 atau 3 tahun mendatang ini. 10 tahun
yang lampau hanya kurang dari 10 Islamic mutual funds, ternyata pada
saat ini telah menjadi lebih dari 90 Islamic financial Web sites seperti
Lariba.com, Islamiq.com, ii-online.com dan ihilal.com telah pula
diluncurkan.
Indonesia dengan memiliki jumlah penduduk sebanyak hampir
250 juta dan lebih dari 90% beragama Islam, ternyata masih jauh
ketinggalan, misalnya saja, dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah
penduduknya jauh lebih sedikit daripada Indonesia dan mayoritas
penduduknya adalam muslim. Malaysia sudah jauh lebih dahulu
mengembangkan perbankan syariah daripada Indonesia, yaitu sejak
1983 dengan diundangkannya Islamic Banking Act dan kemudian
didirikannya Bank Islam Malaysia Berhard pada tanggal 1 Juli 1983.
Sedangkan Indonesia baru tahun 1992 dengan diundangkannya
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diikuti
dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia. Malaysia juga lebih jauh
meninggalkan Indonesia dalam pengembangan pasar keuangan syariah
yang dimulai dengan diundangkan Governement Investment Act tahun
1983.
Berbicara perbankan syariah di Indonesia, Jawa Barat memiliki
peran penting. Jauh sebelum Bank Muamalat Indonesia - bank syariah
pertama - berdiri, embrio lembaga keuangan Islam tumbuh di bumi
parahiyangan. Para aktivis Masjid Salman Institut Teknologi Bandung
(ITB), pertengahan tahun 1970-an sudah membuka wacana perlunya
sistem ekonomi — khususnya lembaga keuangan — berdasarkan
syariah Islam. Salah satu tokoh penggagasnya adalah Imaduddin
Abdulrahim. Tahun 1979, rekan-rekan Bang Imad, mencoba
63
mendirikan Koperasi Kesejahteraan Mahasiswa Bandung sebagai
wacana perintisan lembaga keuangan Islam. Lembaga keuangan
Islamnya sendiri baru dibentuk pada 1980 bernama Koperasi Baitul
Tamwil Jasa Keahlian Teknosa Selanjutnya, masih di Bandung pada
tanggal 9 Agustus 1991 berdiri 2 Bank Perkreditan Syariah ( BPRS ),
yaitu PT. BPRS Berkah Amal Sejahtera dan PT. BPRS Dana
Mardhatillah dan diikuti dengan BPRS Amanah Rabbaniah pada
tanggal 24 Oktober 1991. Pada tanggal 10 Nopember 1991, di
Nanggroe Aceh Darussalam berdiri PT. BPRS Hareukat. Selanjutnya
pada tanggal 1 Mei 1992 berdiri Bank Umum Syariah yang pertama
adalah PT.Bank Muamalat Indonesia.66
Menurut Muhammad Amin Suma67, terdapat perbedaan cukup
mendasar tentang teori ekonomi dalam perbankan konvensional dengan
teori ekonomi yang terdapat dalam perbankan syariah. Selain dalam hal
filsafat dan tujuan, perbedaan mendasar juga dijumpai dalam hal
transaksi dan akibat yang timbul dari transaksi itu sendiri.
Seperti dimaklumi, produk apapun yang dihasilkan semua
perbankan, termasuk di dalamnya perbankan syariah, mustahil terlepas
dari proses transaksi yang dalam istilah fiqh mu’amalat disebut dengan
‘aqd kata jamaknya al-‘uqud. Karena itu, persoalan al-‘uqud ini
menjadi salah satu persoalan pokok yang mutlak penting diperhatikan
dalam penyusunan Naskah Akademik RUU Perbankan Syariah ini. Ada
beberapa asas al-‘uqud yang harus dilindungi dan dijamin oleh Undangundang
Perbankan Syariah (UUPS). Asas-asas yang dimaksudkan
terutama ialah:
1) Asas ridha’iyyah (rela sama rela). Yang dimaksud ialah bahwa
transaksi ekonomi dalam bentuk apapun yang dilakukan perbankan
dengan pihak lain terutama nasabah harus didasarkan atas prinsip
rela sama rela – bukan suka sama suka – yang bersifat hakiki. Asas
ini didasarkan kepada sejumlah ayat al-Qur’an dan al-Hadits,
66 Sumber internet
67 Muhammad Amin Suma, Ekonomi Syariah Sebagai Alternatif Sistem Ekonomi
Konvensional Jurnal Hukum Bisnis, Volume 20, Agustus-September 2002
64
terutama surat an-Nisa’ (4): 29). Atas dasar asas ‘an-taradhin/altaradhi,
maka semua bentuk transaksi yang mengandung unsur
paksaan (ikrah) harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum.
Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan bentuk transaksi
ekonomi apapun yang mengandung unsur kebatilan (al-bathil)
semisal jual-beli yang mengandung unsur pemaksaan (bay’ul
mukrah);
2) Asas manfaat, maksudnya ialah bahwa akad yang dilakukan oleh
bank dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (obyek) yang
bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa Islam
mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat
mudharat/mafsadat seperti jual-beli benda-benda yang diharamkan
dan/ atau benda-benda yang tidak bermanfaat apa lagi
membahayakan.
3) Asas keadilan, dalam arti kedua pihak yang melakukan transaksi
ekonomi (bank dan nasabah) harus berlaku dan diperlakukan secara
adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkrit. Hal ini
didasarkan kepada sejumlah ayat al-Qur’an yang sangat menjunjung
tinggi keadilan dan anti kezhaliman. Termasuk kezhaliman dalam
hal ekonomi yang disimbolkan dengan bentuk riba seperti dapat
dibaca dalam berbagai ayat al-Qur’an, terutama ayat 25 surat al-
Hadid (57 ).
4) Asas saling menguntungkan. Setiap akad yang dilakukan oleh pihak
bank syariah dan nasabah harus bersifat menguntungkan semua
pihak yang berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan
merugikan pihak lain. Itulah sebabnya mengapa Islam
mengharamkan jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur
gharar (penipuan), karena hanya menguntungkan satu pihak dengan
merugikan pihak lain. Demikian pula dengan praktik perjudian yang
hanya menguntungkan segelintir orang dengan merugikan banyak
pihak bahkan masyarakat luas.
Semua asas utama al-‘uqud harus tercermin dalam mekanisme
yang dilakukan perbankan syariah, apakah itu dalam perumusan
teorinya, penuangannya dalam berbagai brosur dan terutama blankoblanko
akad perbankan; bahkan juga pengawasan dan lain sebagainya.
Pengabaian asas-asas al’uqud di atas, dapat dipastikan akan berakibat
65
batal demi hukum setiap akad atau transaksi yang dilakukan perbankan
syariah; dan semua produknya menjadi haram. Mengabaikan asas-asas
al-‘uqud di atas, berarti pula melestarikan sistem ekonomi konvensional
yang bersifat ribawi dalam konteksnya yang sangat luas.
Dalam pada itu memang terdapat perbedaan pandangan dan
tinjauan di antara pakar-pakar hukum Islam sendiri tentang asas-asas al-
‘uqud ini, baik tentang kuantitasnya maupun jenis-jenisnya. Namun
demikian, dapat diklasifikasikan dengan asas-asas al-‘uqud di atas.
Menurut Amin Suma, selain asas-asas al-‘uqud yang telah dikemukakan
di atas, ada beberapa hal lain atau bahkan juga asas al-‘uqud yang perlu
dipertimbangkan secara maksimal dalam RUUPS. Hal-hal lain yang
dimaksudkan adalah:
1) Akad yang dilakukan para pihak (bank dan nasabah) bersifat
mengikat (mulzim).
2) Para pihak yang melakukan akad harus memiliki i’tikad baik
(husnun-niyyah). Asas ini sangat penting diperhatikan dan akan
turut menentukan kelangsungan dari perwujudan akad itu sendiri.
Akad-akad ekonomi yang didasarkan pada niatan yang buruk, pasti
akan menghancurkan transaksi ekonomi perbankan pada khususnya
bahkan perekonomian pada umumnya.
3) Memperhatikan ketentuan-ketentuan atau tradisi ekonomi yang
terjadi dalam praktik masyarakat ekonomi selam tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip perekonomian yang telah diatur dalam Islam,
dan tidak berlawanan dengan asas-asas al-‘uqud yang telah
disebutkan sebelum ini.
4) Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan
syarat-syarat yang ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan,
sepanjang tidak menyalahi ketentuan-ketentuan yang berlaku umum
dan tidak bertentangan dengan semangat moral perekonomian
dalam Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Rasul Allah SAW,
riwayat al-Dar Quthni yang artinya: “Orang-orang Islam itu
[terikat] dengan persyaratan-persyaratan yang telah mereka
tetapkan (sepakati), kecuali syarat yang menghalakan yang haram
atau mengharamkan yang halal”.
Masih dalam kaitan dengan asas-asas al-‘uqud yang telah
disebutkan di atas, ada hal penting lain yang perlu dicatat dalam kaitan
66
dengan persoalan akad, yaitu istilah-istilah akad yang digunakan.
Sebagai ilustrasi, bahasa Indonesia sering menggunakan dua istilah
yang dianggap memiliki satu arti; padahal penggunaan semacam itu
dalam fiqh Islam sama sekali berbeda. Misalnya penggunaan kata
pinjam yang lazim disamakan/diidentikkan dengan kata utang.
Sehingga, pinjam-meminjam dianggap sama sekali tidak berbeda
dengan utang-piutang. Padahal dalam literatur fiqh, soal pinjammeminjam
dibahas dalam bab/kitab al-‘ariyah; sementara utang-piutang
dibahas dalam kitab/bab al-dayn/al-duyun. Padahal, lafal akad sangat
menentukan hukum itu sendiri berikut akibat hukum yang terjadi atau
timbul dari perbuatan hukum. Atas dasar ini maka dalam RUUPS nanti
harus menggunakan lafal (redaksi) akad yang benar-benar jelas, tegas,
dan lugas untuk menghindari kemungkinan terjadi kesalahpahaman bagi
salah satu atau kedua pihak yang berakad.
Betapapun baik dan indahnya serangkaian teori dalam suatu
bidang, termauk bidang perbankan syariah, tidak akan otomatis menjadi
jaminan bagi pelaksanaan teori itu sendiri. Untuk itu, diperlukan
pengawasan dan evaluasi secara kontinyu. Tanpa pengawasan dan
evaluasi untuk kemudian melakukan perbaikan seperlunya, mustahil
perbankan syariah akan berbeda dari praktik bank-bank konvensional.
Jika perbankan syariah melaksanakan praktik yang berbeda dari teori
perbankan yang dianutnya, maka dampak negatifnya dapat dipastikan
akan lebih buruk dibandingkan dengan bank-bank yang oleh kawankawan
perbankan syariah dijuluki sebagai bank konvensional.
Hingga dewasa ini, secara jujur harus diakui bahwa dalam
kenyataan masih ditemukan praktik sistem pembungaan uang oleh Bank
Syariah tertentu di tempat tertentu dengan dalih – atau hilah dalam
istilah fiqh – yang dibuat-buat untuk membenarkan praktik
pembungaan uang dalam transaksi pinjam-meminjam.
Sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga perantara (
intermediary finance ), bank menjadi perantara pihak yang memerlukan
dana ( lack of funds ) dan pihak yang memiliki kelebihan dana ( surplus
of funds ). Dengan demikian dua jasa utama bank adalah menghimpun
dana dari masyarakat ( funding ) dan menyalurkan dana kepada
masyarakat ( landing ), namun demikian sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat, bank memberikan jasa layanan dalam lalu
67
lintas pembayaran / jasa lainnya ( fee based services ). Demikian halnya
dengan Bank Syariah.
Terdapat kelebihan bank Syariah dibandingan dengan Bank
Konvensional, yaitu jasa yang dapat diberikan oleh Bank Syariah,
bukan saja berupa jasa – jasa yang dapat diberikan oleh suatu bank
konvensional ( commercial bank ), melainkan juga jasa – jasa yang
biasanya diberikan oleh oleh suatu lembaga pembiayaan konvensional
modern ( multi finance company ). Bahkan menurut Remy Syahdaeni,
jasa yang berikan oleh Bank Syariah adalah jasa- jasa yang
berlandaskan konsep transaksi yang sangat modern dan maju. 68
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Berikut ini akan diuraikan beberapa perbedaan antara bank
syariah dan bank konvensional. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
table di bawah ini
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional69
Bank Syariah Bank Konvensional
Berdasarkan margin
keuntungan atau bagi hasi
Memakai perangkat bunga
Profit dan falah Oriented Profit oriented
Hubungan hukum bank
dan nasabah : kemitraan
Hubungan hukum nasabah dan bank
: Debitur – Kreditur
User of real funds Creator of money supply
Melakukan investasi yang
halal saja
Investasi yang halal dan haram
Pengerahan dan
penyaluran dana harus
sesuai dengan pendapat
Dewan Pengawas Syariah
Tidak terdapat dewan sejenis itu
68Syahdaeni, Remy. Op. Cit., hal
69 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Op .Cit, hal.
53
68
E. Konsep Akad pada Bank Syariah
Dari hasil musyawarah ( ijma Internasiopnal ) para ahli ekonomi
muslim beserta dan para ahli fiqih dan Academi Fiqih di Mekah pada
tahun 1973 , dapat disimpulkan bahwa konsep dasar hubungan
hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam dalam sistem ekonomi
Islam ternyata dapat diterapkan dalam operasional lembaga keuangan
bank maupun lembaga keuangan bukan bank. 70
Secara garis besar, hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam
tersebut ditentukan oleh hubungan aqad yang terdiri dari lima konsep
aqad. Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan
produk-produk lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan
bukan bank syariah untuk dioperasionalkan. Kelima konsep tersebut
adalah : (1) sistem simpanan / titipan ( Al Wadiah ), (2) bagi hasil (
Syirkah ) , (3) Jual Beli ( At Tijarah ), (4) sewa ( Al Ijarah ), dan (5)
jasa / fee ( Al-Ajr wal umullah) 71
(1) Prinsip Simpanan Murni ( Al Wadi’ah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh
Bank Syariah untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang
kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al wadi’ah.
Fasilitas Al wadiah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna
mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam
dunia perbankan konvensional Al Wadi’ah identik dengan giro.
(2) Bagi Hasil ( Syirkah )72
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian
hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian
hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana
maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk
70 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 2002, hal
83
71 Muhammad, Op. Cit., hal 85-99, lihat pula Amin Azis, Mengembangkan Bank
Islam di Indonesia, Buku 2, Penerbit Bangkit, Jakarta, tanpa tahun, hal 18
72 Afzalur Rahman mengemukakan bahwa kerdapat kesamaan yang sangat nyata
antara kemitraan Inggris dengan syirkah dalam hal jenis mitra, hak dan kewajiban,
fungsi dan tugasnya terhadap pihak ketiga dalam hal yang berkaitan dengan utang
dan sebagainya seperti yang tertuang dalam Peraturan Kemitraan Inggris tahun 1890
dan ketentuan tentang syirkah pada Al Hidayah. Op. Cit, hal. 378.
69
yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudhorobah dan Musyarokah.
Lebih jauh prinsip Mudhorobah dapat dipergunakan sebagai dasar baik
untuk produk pendanaan ( tabungan dan deposito ) maupun
pembiayaan, sedangkan musyarokah lebih banyak untuk pembiayaan.
(3) Prinsip Jual beli ( At-Tijaroh )
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual
beli. Bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau
mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang
atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga sejunmlah harga beli ditambah keuntungan
(margin).
(4) Prinsip Sewa ( Al-Ijaroh )
Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada dua jenis :
a. Ijaroh : sewa murni, seperti hanya penyewaan traktor dan alat-alat
produk lainnya ( operatong lease ). Dalam teknis perbankan bank
dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah
kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya hanya yang telah
disepakati kepada nasabah.
b. Bai al tajiri atau ijaroh al muntahiya bi tamlik merupakan
penggabungan sewa dan beli , dimana si penyewa mempunyai hak
untuk memiliki barang pada akhir masa sewa ( finansial lease).
(5) Prinsip Jasa / Fee ( Al-Ajr wal umullah)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan nonpembiayaan yang diberikan
bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank
Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa,Transfer, dan lain – lain. Secara Syari’ah
prinsip ini didasarkan pada konsep al ajr wal umullah .
Konsep akad Simpanan / titipan ( Al wadi’ah ), Bagi hasil
( Syirkah ), Jual beli ( At Tijarah ), Sewa ( Al Ijarah ), dan Jasa / Fee (
Al-Ajr wal umullah ) dalam operasional Perbankan Syariah (
Penghimpunan dana / funding, Penyaluran dana / landing, dan
Pemberian jasa dalam lalu lintas pembayaran / fee – based services )
dapat dilihat pada tabel berikut :73
73 Lihat pula Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Apa
dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1992, hal-14-
15.
70
a. Produk Penghimpunan Dana
1. Prinsip Wadi’ah
Prinsip Wadi’ah dalam produk bank syariah dapat
dikembangkan menjadi dua jenis, yaitu : (1) Wadi’ah Yad a Amanah
dan (2) Wadii’ah yad Dhomanah. Dalam konsep Al Wadiah Yad al
Amanah, pihak penerima titipan tidak boleh menggunakan dan
memanfaatkan barang yang dititipkan, tetapi harus benar – benar
menjaganya sesuai dengan kelaziman. Bank bertanggung jawab
terhadap kehilangan dan kerusakan barang yang dititipkan. Konsep Al
Wadia’ah yad Dhamanah, memberikan kesempatan kepada bank untuk
mempergunakan dana titipan dalam aktivitas perekonomian tertentu
dengan meminta izin terlebih dahulu dari si pemberi titipan. Semua
keuntungan yang dihasilkan dari dana tersebut menjadi milik bank (
demikian juga bank menanggung seluruh kemungkinan kerugian ).
a. Al Wadi’ah
( titipan ) :
- Giro
b. Mudharabah
( bagi hasil )
- Tabungan
- Deposito
a.Tijaroh ( Jual beli )
- Murabahah
- Salam
- Istisna
b. Ijarah ( sewa )
Ijarah Muntahia
bittamlik ( sewa
beli )
c. Syirkah
- Musyarakah
( kerjasama
modal usaha )
- Mudharabah
( Kerjasama
modal usaha
a. Al Wakalah
( perwakilan )
b. Al Kafalah
penjaminan )
c. Al hawalah
( Pengalihan hak-
Tg jawab )
d. Ar Rahn ( gadai )
e. Al Qardh
(Kebajikan)
PRODUK BANK SYARIAH
FUNDING LANDING FEEBASED
71
Sebagai imbalan si penitip / penyimpan mendapat jaminan keamanan
terhadap hartanya. Namun demikian, bank sebagai penerima titipan
sekaligus sebagai pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut tidak
dilarang untuk memberikan semacam insentif / bonus dengan catatan
tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam
nominal. Konsep al wadi’ah yad Dhamanah dikembangkan dalam
bentuk Current account ( Giro ), dan Saving account ( Tabungan
Berjangka )
3. Prinsip Mudharobah
Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpan
bertindak sebagai shohibul mal dan bank sebagai mudhorib. Dana ini
digunakan bank untuk melaksanakan pembiayaan. Jika terjadi kerugian
maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Rukun
Mudharobah adanya pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan,
ada nisbah, dan ada ijab Qobul. Aplikasi Prinsip Muidharobah adalah
Tabungan berjangka, dan Deposito berjangka Sistem mudharabah ini
dapat diaplikasikan pada produk tabungan, deposito, dan giro. Seperti
halnya pada sistem wadi’ah, tabungan juga diatur dalam Fatwa DSN
No. 02/DSN-MUI/IV/2000 dan giro diatur dalam Fatwa DSN No.
01/DSN-MUI/IV/2000. Sedangkan mengenai deposito diatur dalam
Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000.
b. Produk Penyaluran Dana
Produk penyaluran dana di Bank Syari’ah dapat dikembangkan
dengan model - model berikut :
1. Prinsip Jual beli ( At Tijarah )
a. Pembiayaan Murobahah ( dari kata ribhu = keuntungan ). Bank
sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang diserahkan
segera dan pembayaran dilakukan secara. tangguh . Pembiayaan
murabahah telah diatur dalam Fatwa DSN No. 04/DSNMUI/
IV/2000.
b. Salam ( jual beli barang belum ada ). Pembayaran tunai barang
diserahkan tangguh. Bank sebagai pembeli dan nasabah sebagai
penjual. Dalam transaksi ini ada kepastian tentang kuantitas ,
72
kualitas, harga dan waktu penyerahan. Pada Fatwa DSN No.
05/DSN-MUI/IV/2000.
Ketentuan umum dalam Ba’issalam :
a. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara
jelas seperti jenis,macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
b. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai
dengan akad, nasabah harus bertanggung jawab.
c. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau
dipesannya sebagai persediaan, maka bank dimungkinkan
melakukan akad salam pada pihak ketiga (pembeli kedua)
c. Istishna : jual beli seperti akad salam namun pembayarannya
dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Istishna
diterapkan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Fatwa
DSN No. 06/DSN/MUI/IV/2000
Ketentuan Umum :
a. Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam,
ukuran, mutu dan jumlahnya.
b. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad dan
tidak boleh berubah selama berlakunya akad
c. Jika terjadi perubahan kriteria pesaanan dan terjadi perubahan
harga setelah akad ditanda tangani, maka seluruh biaya tambahan
tetap ditanggung nasabah.
2. Prinsdip Sewa ( Ijaroh )
Transaksi Ijaroh dilandasi adanya pemindahan manfaat. Pada
transaksi ijaroh nasabah tidak mempunyai hak untuk memiliki barang
tersebut akan tetapi hanya menikmati manfaat barang yang menjadi
objek. Bank mengenakan biaya sewa terhadap nasabah. Pengembangan
produk jasa Ijarah dapat gunakan dalam bentuk save deposit box. Pada
jenis Ijarah Muntahia Bithamlik (sewa yang diikuti dengan
berpindahnya kepemilikan ) , di akhir masa sewa, bank dapat menjual
barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga sewa dan harga jual
disepakati pada awal perjanjian. Fatwa DSN yang mengatur mengenai
ijarah adalah No. 09/DSN-MUI/IV/2000.
73
3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur mengenai
pembiayaan musyarakah. Prinsip bagi hasil untuk produk pembiayaan
di bank syari’ah dioperasionalkan dengan pola-pola sebagai berikut :
1. Musyarokah adalah kerjasama dalam suatu usaha oleh dua pihak
Ketentuan Umum dalam akad Musyarokah adalah sebagai berikut :
a. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek
musyarokah dan dikelola bersama-sama.
b. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek
c. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarokah,
tidak boleh melakukan tindakan seperti :
a. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi
b. Menjalankan proyek musyarokah dengan pihak lain tanpa izin
pemilik modal lainnya,
c. Memberi pinjaman kepada pihak lain
d. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau
digantikan oleh pihak lain
e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila
:
- menarik diri dari perserikatan
- meninggal dunia
- menjadi tidak cakap hukum
f. Biaya yang timbul dal;am pelaksanaan proyek dan jangka
waktu proyek harus diketahui bersama
g. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad
2. Mudharobah, kerjasama antara bank dengan nasabah. Bank sebagai
dengan mana shohibul mal memberikan dana 100% kepada
Muidhorib yang memiliki keahlian. Ketentuan Umum yang berlaku
dalam akad Mudharobah adalah :
a. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola
modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang
yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal
diserahkan secara bertahap harus jelas tahapannya dan disepakati
bersama.
74
b. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharopbah dapat
diperhitungkan dengan dua cara :
- Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada
setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik
modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian
dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalah gunaan dana.
- Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan
namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan / usaha
nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya
tidak mau membayar kewajiban dapat dikenakan sanksi
administrasi. Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan
ketentuan mengenai pembiayaan mudharabah ini pada Fatwa
DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000.
c. Akad – akad Pelengkap
Bank Syariah memberikan layanan jasa lain kepada nasabah
selain dari penghimpunan dan penyaluran dana dengan menggunakan
beberapa akad.
1) Alih utang piutang ( Al- Hiwalah).
Fasilitas Hiwalah lazimnya digunakan untuk membantyu
supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
Ketentuan umum al-hiwalah ini diatur dalam Fatwa DSN No. 12/DSNMUI/
IV/2000.
2) Gadai (Rahn)
Untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank
dalam memberikan pembiayaan . Barang yang digadaikan wajib
memenuhi kriteria.
(a) Milik nasabah sendiri
(b) Jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil
pasar
(c) Dapat dikuasai namun tidfak boleh dimanfaatkan oleh bank
Syariah Nasional membuat fatwa tersendiri mengenai rahn emas ini,
yaitu dalam Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002. Secara prinsip,
75
ketentuan rahn emas juga berlaku ketentuan rahn yang diatur dalam
Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002.
3) Al Qordh.
Pinjaman kebaikan, Al-Qordh digunakan untuk membantu
keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini
digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini
diperoleh dari dana zakat, infaq dan sodaqoh. Ketentuan mengenai
qardhul hassan telah diatur dalam Fatwa DSN No. 19/DSNMUI/
IX/2000.
4) Wakalah
Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti; transfer, pembayaran
rekening listrik, telepon. Kegiatan ini diatur dalam Fatwa DSN No.
10/DSN-MUI/IV/2000
5) Kafalah.
Bank garansi digunakan untuk menjamin pembayaran suatu
kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank
dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah . Bank dapat
ganti biaya atas jasa yang diberikan. Dewan Syariah Nasional telah
mengatur hal ini dalam Fatwa DSN No. 11/DSN-MUI/IV/2000. Dalam
fatwanya diatur ketentuan umum kafalah sebagi berikut.
Distribusi Bagi Hasil Berdasarkan Prinsip Akad Syariah Dana yang
dikumpulkan oleh bank syariah berupa simpanan masyarakat, dilola
oleh bank dengan harapan mendapat keuntungan. Prinsip utama yang
dikembangkan bank syariah berkaiatan dengan manajemen dana adalah
: Bank syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan
dana minimal sama atau lebih besar dari suku bunga bank konvensional,
dan mampu menarik bagi hasil dari nasabah pembiayaan lebih rendah
dari pada bunga yang berlaku pada bank konvensional. Distribusi bagi
hasil / intensif yang diterima oleh pemegang saham, bank, maupun
nasabah penyimpan dana dapat dilihat pada bagan berikut 74 :
74 Muhammad. Op. Cit., hal 108
76
F. Dewan Pengawas Syariah
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya
bentuk hukum Bank Syariah dan Bank Konvensional sama saja, yaitu
dapat berbentuk Perusahaan Daerah, Koperasi, ataupun Perseroan
Terbatas. Namun satu hal yang membedakan Bank Syariah dengan
Bank Konvensional, baik untuk bank umum, mapun BPRS, yaitu pada
struktur organisasi bank syariah ( bank umum atau BPRS ), harus
terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS)
F.1. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah – untuk selanjutnya disingkat DPS —
bertugas mengawasi opersionalisasi bank dan produk – produk agar
sesuai dengan ketentuan syariah. Menurut Heri Sudarsono, ( 2004 : 42-
54 ) DPS biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris
pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini
yang diberikan oleh Dewan Pengawas syariah. Karena itu penetapan
anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham ( RUPS) stelah para anggota DPS mendapat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional ( DSN). DSN merupakan
badan otonom Majelis Ulama Indonesia ( MUI) yang diketuai secara ex
officio oleh ketua MUI. Untuk melaksanakan kegiatan harian ditunjuk
Badan Pelaksana Harian DSN.
DSN memiliki kewenangan dalam pengangkatan DPS, yaitu
sebagai lembaga yang memberikan rekomendasi untuk duduk di DPS.
Bagi perusahaan yang akan membuka bank syariah dari bank
konvensional atau cabang bank syariah atau lembaga keuangan syariah
yang lainnya harus mengajukan rekomendasi anggota DPS kepada
DSN. Selain itu DSN mempunyai kewenangan untuk memberikan
teguran bagi bank yang melakukan penyimpangan. Berdasarkan laporan
dari DPS pada masing – masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat
memberikan teguran jika lembaga yang bersangkatn menyimpang dari
garis panduan yang telah ditetapkan. Kewenangan yang lainnya adalah
DSN dapat memberikan laporan kepada badan yang memiliki otoritas
dalam pembinaan dan pengawasan bank. Jika lembaga yang
bersangkutan tidak mengindahkan teguiran yang diberikan, DSN dapat
77
mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas, yaitu
Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah ( DPS) adalah :
1. Mengawasi jalannyaaa operasionalisasi bank sehari – hari agar
sesuai dengan ketentuan syariah.
2. Membuat pernytaan secara berkala ( biasanya tiap tahun ) bahwa
bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan
syariah.
3. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya.
Fungsi Dewan Syariah Nasional ( DSN) adalah :
1. Mengawasi produk – produk lembaga keuangan syariah agar sesuai
dengan syariah.
2. Meneliti dan memberi fatwa bagi produk – produk yang
dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.
3. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai
Dewsan Pengawas Syariah l pada suatu lembaga keuangan syariah.
4. Memberika teguran kepada lembaga keuangan syariah jika yang
bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.
Lahirnya UU Perbankan Syariah memberikan peluang yang sangat
besar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Hal-hal yang
membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut
adalah: 75
a. Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat
dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank
Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat
7);
b. Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank
Syariah dengan Bank nonSyariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal
17 ayat 2);
75 Mrtza Gamal, http://asia.groups.yahoo.com/group/ekonomi-islami/surveys
78
c. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah
(UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai
asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15
tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1)
d. Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing
yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia
untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9
ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung
maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal
14 ayat (1).
e. UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha
bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank
konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah
bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank
konvensional ( Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan
syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh
investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu
kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance
company, dan merchant bank.
f. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum
Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah
(UUS) dari sebuah bank konvensional.
g. Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi pegnelola zakat (Pasal 4 ayat 2);
dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya
kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi
wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
UU Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha
yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk
79
percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki
tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan tersebuat antara lain
:76
a. Bagi pelaku bank syariah nasional dengan lahirnya UU Perbankan
Syariah adalah adanya pembebasan pemilikan bank umum syariah
oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau
badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9)
maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar
bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan
bank syariah ke depan;
b. Ketentuan tentang pembebasan penggunaan tenaga kerja asing
(Pasal 33 ayat (1) dapat merupakan tantangan besar bagi
warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di
perbankan Syariah;
c. Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar
produk/jasa perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank
Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis
Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi produk/jasa
yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu
produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan
syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di
Indonesia;
d. Ketentuan tentang calon pemegang saham pengendali (memiliki
saham lebih dari 25% atau kurang dari 25% tetapi dapat dibuktikan
telah melakukan pengendalian perusahaan secara langsung ataupun
tidak langsung) wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan dari Bank
Indonesia (Pasal 27), juga merupakan sebuah tantangan karena hal
ini akan membatasi para pemodal untuk memiliki bank Syariah;
e. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama atau jalur lain
76 Merza Gamal, Ibid.
80
sepanjang telah diperjanjikan dalam akad (Pasal 55) merupakan
tantangan bagi bank syariah untuk memilih jalur yang tepat dalam
setiap akad perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di kemudian
hari, mana yang bisa diserahkan kepada Peradilan Agama dan mana
yang diserahkan kepada lembaga lain.

No comments :

Post a Comment