Friday, September 13, 2013

PERJANJIAN KREDIT BANK



Tujuan Instruksional :
156
Serelah membaca bab ini pembaca diharapkan dapat menjelaskan
Pengertian dan Landasan Hukum Kredit, Prinsip - prinsip Kredit bank,
Sifat Perjanjian Kredit Bank, Klausul-klausul dalam Perjanjian Kredit
Bank, dan Jaminan dalam Perjanjian Kredit Bank
A. Pengertian dan Landasan Hukum
Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat
yaitu dalam bentuk Kredit masih merupakan pilihan utama bank Hal ini
terlihat dari data perbulan Agustus 1995. Dari total asset seluruh bank
umum sebesar 372.667 milyar, jumlah kredit yang diberikan yaitu
sekitar 249.294 atau 67 % , sedangkan penempatan dana dalam entuk
surat berharga adalah sebesar 18.426 milyar, atausekitar 5 % . Dari data
ini dapat dilihat bahwa sebagian besar dana bank disalurkan dalam
bentuk pemberian kredit, yang jika dikelola dengan hati-hatiakan
memberikan hasil yang tidak kecil baik bagi bank itu sendiri maupun
bagi perekonomian nasional86
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Darminto
Hartono bahwa semua bank adalah pelaku yang menerima deposit yang
tepat dan liability and balance dan lembaga yang memberikan
pinjaman atau loan yang tampak di bagian Asset dari balance sheet87
Kredit disamping kegiatan pengerahan dana dan masyarakat
merupakan kegiatan utama dari bank-bank umum di Indonesia karena
dua alasan 88
1. Bunga Kredit merupakan sumber-sumber pendapatan utama
2. Dalam kegiatan penyaluran kredit sumber dana dari kredit itu berasal
terutama dari dana-dana yang dikerahkan oleh bank dari masyarakat
berupa simpanan. Kredit bank merupakan lembaga yang peranannya
sangat strategis bagi pembangunan perekonomian dan bagi
86 GBHN-BP7 Pusat, hal 149, Heru Soepraptomo, Ketentuan Bank Indonesia yang
berkaitan dengan Pemberian dan Pengawasan Kredit Perbankan, makalah pada
Seminar Nasional tentang Pemantapan Peraturan-peraturan Perlindungan Hukum
untuk Kreditur dan Debitur dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta, 22
Nopember 1995, hlm 1
87 Perkembangan Perbankan Internasional, Bagimana Posisi dan Antisipasi Indonesia,
Majalah Masalah-
Masalah Hukum UNDIP No. 4 tahun XXIV, 1994
88 Sutan Remy Syahdaeni, op. Cit., hal 2
157
perkembangan usaha bank itu sendiri serta sarat dengan berbagai
pengaturan (memiliki aspek yuridis).
Untuk itu dalam uraian ini akan dikaji masalah perjanjian jredit
bank dari beberapa sisi, yaitu tentang landasan hukum dan prinsipprinsip
perkreditan, unsur-unsur serta bentuk hubungan hukum
perjanjian kredit bank. Klausule-klausule penting dalam perjanjian
kredit bank serta masalah jaminan dalam perjanjian kredit bank.
Kredit yang berasal dari kata creditus menurut Noan Webster 1972
yang dikutip Munir Fuady berarrti kepercayaan, merupakan bentuk past
principle dari kata credere yang berarti to trust (kepercayaan).89
Dengan demikian maka perkereditan memiliki unsur utama
kepercayaan walaupun kredit itu sendiri bukan hanya sekedar
kepercayaan, makna kepercayaan disini mengandung arti yaitu : pihak
yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit
(debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah
diprrjanjikan90. Pengertian Kredit menurut Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 Pasal 1 angka (11) :
”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
lainyang menjanjikan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”
Kegiatan pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat
pokok dan sangat konvensional dari suatu bank bahkan sementara pakar
mengatakan bahwa fungsi tradisional bank adalah menghimpun dana
dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat.
Penyaluran dana pada umumnya dilakukan dalam bentuk pemberian
kredit. Selanjutnya akan ditelaah landasan hukum perkreditan.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa landasan perkreditan
yang tercantum dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1967. Undang-
89 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontempoorer, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
1996, hal 5
90 Muhammad Djumhana, Op Cit., hal 217
158
Undang Pokok Perbankan91 terdiri dari landasan idiil, okonstitusional
dan landasan politis.
Landasan idiil menurutnya adalah pembinaan sistem ekonomi
terpimpin yang berdasarkan pada Pancasila yang menjamin
berlangsungnya demokrasi ekonomi dan bertujuan menciptakan
masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa
seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Ketetepan MPRS Nomor
XXIII/MPRS/1966, sedangkan landasan konstitusional Undang-undang
Perbankan tahun 1967 ialah Pasal 33 UUD 1945 yang menurutnya
mengandung ajaran Demokrasi Ekonomi. Landasan konstitusional
tersebut diatas dijabarkan dalam TAP MPRS RI Nomor
XXIII/MPRS/1966 pasal 6 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan
Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, jo Bab III B pasal 14
ayat a TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1978 yang didalamnya diuraikan
tentang ciri-ciri positif Demokrasi Ekonomi.
Demokrasi Ekonomi tidak ada tempat bagi ciri-ciri negatif
seperti telah diuraikan terdahulu. Dalam TAP MPR RI NOMOR
II/MPR/1993 hal tersebut dicantumkan dalam bab II G tentang Kaedah
Penuntun.. Kaedah penuntun merupakan pedoman bagi penentunan
kebijaksanaan pembangunan nasional agar senantiasa sesui dengan
landasan, makna dan hakekat, asas, wawasan dan tujuannnya yang
merupakan pengamalan semua sila Pancasila secara serasi sebagai
kesatuan yang utuh. Manurut Mariam Darus Badrulzaman UU
Perbankan 1967 merupakan landasan politis (yang seterusnya
dituangkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973dan TAP MPR RI No
IV/MPR/1978 tentang GBHN dan menurut hemat penulis dilanjutkan
pula dalam TAP-TAP MPR berikutnya yaitu GBHN 1983, 1998, 1993).
Dalam TAP PR Nomor II/MPR/1993 sasaran bidang pembangunan
lima tahun keenam bagian E 22 disebutkan, bahwa ……….upaya
menghimpun dana masyarakat perlu ditingkatkan dan diarahkan untuk
menyediakan dana bagi pembangunan melalui lembaga keuangan yang
effisiendan dipercaya oleh masyarakat serta makin dapat menjangkau
segenap lapisan masyarakat seluruh tanah air dengan menciptakan
91 Mariam Darus badruzzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1992 hal 56,. Pada saat itu belum disahkan UU No 7 tahun 1992
159
iklim yang mendukung agar mampu menigkatkan peran aktif
masyarakat 92
Selanjutnya Mariam darus Badruzzaman, menhganalilsis
landasan hukum perkreditan berdasar UU Pokok Perbankan 1967
dihubungkan dengan perjanjian pinjam mengganti yang tercantum
dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dengan landasan yuridis yang telah
dipaparkan beliau menyimpulkan bahwa perkereditan seperti yang
tercantum dalam UU Pokok Perbankan 1967 bukan ketentuan-ketentuan
perjanjian pinjam mengganti menurut KUH Perdata. Sampai saat ini
pengaturan perjanjian kredit di dalam pengaturan hukum masih bersifat
sporadis93. Inventarisasi aturan perjanjian kredit yang dilakukan
Mariam Darus Badrulzaman yaitu:
a. KUH Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian pinjam meminjam
uang.
b. UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 (UU Perbankan) :
1. Pasal 1 ayat (12) tentang Perjanjian Kredit
2. Perjanjian anjak piutang yaitu perjanjian pembiayaan
dalambentuk pembelian atau pengalihan serta pengurusan piutang
atau tagihan-tagihan jangka pendek suatu perusahaan
daritransaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
3. Perjanjian kartu kredit yaitu perjanjian dagang dengan
mempergunakan kartu kredit yang kemudian diperhitungkan
untuk melakukan pembayaran melalui penerbit kartu kredit.
4. Perjanjian sewa guna usaha yaitu perjanjian sewa menyewa
barang yang berakhir dengan opsi untuk meneruskan perjanjian
itu atau melakukan jual beli.
c. Perjanjian sewa beli yaitu perjanjian yang pembayarannya dilakukan
secara Angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada
pembeli setelah angsurannya lunas dibayar ( Keputusan Menteri
Perdagangan No. 34/KP/II/80). Indonesia yang menganut sistem
Hukum Eropa Kontinental, keduduka Undang-undang sebagai
sumber hukum sangat penting94, oleh karena itu berbicara tentang
92 Garis-garis Besar Haluan Negara- BP7 Pusat, 1996
93 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal 109
94 Munir Fuady, Op. Cit., hal 9
160
landasan hukum perkreditan, maka kita harus mengurutnya kepada
sumber undang-undang yang tertinggi yaitu Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, TAP MPR, Undang-undang dan peraturan
pelaksanaan lainnya.
Berbeda dengan Mariam Darus Badrulzaman, Munir Fuady
mengemukakan dasar-dasar hukum perjanjian kredit bank sebagai
berikut :
1. Perjanjian diantara para pihak
2. Undang-undang tentang perbankan
3. Peraturan Pelaksanaan dari undang-undang
4. Yurisprudensi
5. Kebiasaan perbankan
6. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya
1. Perjanjian diantara para pihak
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
yang membuatnya. Maka dengan
ketentuan pasal itu berlaku sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah
bahkan kekuatannya sama dengan kekuatan undang-undang. Demikian
pula dalam bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang diawali
oleh satu perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian kredit dan
umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis.
2. Undang-undang sebagai dasar hukum
Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur tentang
perbankan adalah Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan dan Nomor 7 tahun 1998 tentang Perbankan.
3. Peraturan Pelaksanaan Sebagai Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan seperti ini cukup banyak. Hal ini
diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis dari bisnis perbankan
yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk
pelaksanaan (Heaviy regulated bussiness)
Diantara peraturan peundangan yang levelnya dibawah undang-undang
yang mengatur juga tentang perkreditan dapat diklassifikasikan sebagai
berikut :
a. Peraturan Pemerintah
161
b. Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan
c. Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia
d. Peraturan perundang-undangan lainnya
4. Yurisprudensi Sebagai Dasar Hukum
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah
disepakati sebagai dasar hukum untuk untuk kegiatan perkreditan
yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum.
5. Kebiasaan Perbankan Sebagai Dasar Hukum
Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga
menjadi suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan,
kebiasaan dan dan praktikperbankan dapat juga menjadi suatu dasar
hukumnya. Memamng banyak hal yang telah lazim dilaksanakan dalam
praktek tetapi belummendapat pengaturan dalam peraturan perundangundangan.
Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk dilakukan oleh
perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku. Mnurut UU Perbankan Nomor 10 tahun 1998,
bank bahkan dapat melakukan kegiatan lain dari yang telah diperincikan
oleh Pasal 6 nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia
perbankan ( vide Pasal 6 huruf n ).
6. Peraturan Terkait Lainnya Sebagai Dasar Hukum
Dalam pemberian kredit bankseringkali terkait dengan beberapa
peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit pada
hakekatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan terkait buku
ketiga KUH Perdata tentang Perikatan, demikian halnya dengan
ketentuan mengenai hipotik atau hak tanggungan yang diatur dalam UU
Pokok Agraria UU No 5 tahun 1960, HIR tentang eksekusi hipotik,
KUH Acara Perdata dan lain-lain. UU No 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan.
B. Prinsip-prinsip Kredit Bank
Dari beberapa literatur yang menelaah tentang perjanjian
kredit,umumnya dibahas secara detail tentang prinsip-prinsip perjanjian
kredit, salah satu buku yang menganalisa tentang prinsip perjanjian
162
perjanjian kredit bank adalah Munir Fuady 95 yang menguraikan prinsip
perkreditan secara garis besar, yaitu terdiri dari prinsip kepercayaan,
prinsip ke hati-hatian, prinsip 5-C, prinsip 5-P dan prinsip 3-R.
1. Prinsip Kepercayaan
Savelberg mengemukakan prinsip kepercayaan, bahwa debitur
dapat dipercaya kemampuannya untuk memenuhi perikatannya, hal ini
menuju kepada arti hukum kredit pada umumnya. Sesuai dengan asal
kata kredit yang berarti kepercayaan, maka setiap pemberian
sebenarnya mestilah diikuti oleh kepercayaan, yakni kepercayaan dari
kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan
oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali kreditnya.
Tentunya untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan ini oleh kreditur
mestilah dilihat apakah calon debitur memenuhi berbagai kriteria yang
biasanya diberlakukan terhadap suatu kredit. Karena itu timbul suatu
prinsip lain yang disebut prinsip kehati-hatian.
2. Prinsip Kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi
dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping
pula sebagai suatu perwujudan dari prinsip prudent banking dari seluruh
kegiatan perbankan . Untuk mewujudkan prinsip ini dalam pemberian
kredit berbagai usaha pengawasan dilakukan baik pengawasan internal
(dalam bank itu sendiri) maupun eksternal (pihak luar). Untuk itulah
Bank Indonesia mengeluarkan berbagai macam ketentuan antara lain
mengenai batas maksimum pemberian kredit (legal-lending-limit).
3. Prinsip 5-C
Prinsip ini dikenal dalam dunia perbankan yang merupakan
singkatan dari unsur-unsur character – capacity – capital –condition of
economy dan collateral. Character adalah watak/kepribadian/prilaku
95 Munir Fuady, Op. Cit. hal 21 – 26 ; lihat pula pada Muchdarsyah Sinungan, Op.
Cit., hal 240-245
163
calon debitur yang harus menjadi perhatian bank sebelum perjanjian
kredit ditanda tangani. Capacity adalah kemampuan calon debitur
sehingga diprediksi kemampuannya untuk melunasi utangnya. Capital
adalah permodalan dari suatu debitur yang harus diketahui oleh seorang
calon kreditur karena kemamuan permodalan dan keuntungan dari
debitur mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan
membayar kredit. Untuk itu perlu diteliti masalah likuiditas dan
solvabilitas dari dari perusahaan calon debitur. Condition of economy
yaitu suau kondisi perekonomian baik secara mikro maupun secara
makro yang harus dianalisis sebelum kredit diberikan terutama yang
berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur, misalnya suatu
bisnis yang sangat dipengaruhi oleh policy pemerintah berkaitan dengan
proteksi atupun hak monopoli yang diberikan oleh pemerintah.
Collateral atau agunan merupakan the last ressort bagi kreditur, akan
tetapi tidak diragukan lagi betapa penting fungsi agunan dalam setiap
pemberian kredit. Agunan akan direalisasi atau dieksekusi jika suatu
kredit benar-benar dalamkeadaan macet.
4. Prinsip 5-P
Mengingat kredit mengandung resiko yang sangat tinggi maka
selain penilaian berdasarkan prinsip 5-C tersbut diatas, dalam praktik
perbankan dikenal pula prinsip 5-P yang harus diperhatikan oleh bank
dalam penyaluran kredit, yaitu prinsip party atau para pihak. Menurut
prinsip ini para pihak merupakan titik sentral yangharus diperhatikan
dalam setiap pemberian kredit menyangkut karakternya, kemampuan
dan sebagainya. Purpose yaitu tujuan dari pemberian kredit harus
dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang
dapat menaikkan income perusahaan. Payment atau pembayaran,
masalah pembayaran kembali kredit yang sudah diberikan dalam
keadaan lancar merupakan hal yang sangat diharapkan bank, oleh
karena itu harus diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari
calon debitir cukup aman dan tersedia sehingga mencukupi untuk
membayar kredit. Profitability, yaitu penilaian terhadap kemampuan
calon debitur untuk memperoleh keuntungan dan usahanya. Protection
atau perlindungan. Perlindungan dari kelompok perusahaan atau
jaminan dari holding atau jaminan pribadi dari pemilik perusahaan
164
merupakan hal yang penting pula untuk diperhatikan. Hal ini terutama
untuk menjaga jika terjadi hal-hal yang terjadi diluar prediksi semula.
5. Prinsip 3-R
Prinsip 3-R yaitu Returns, repayment dan risk bearing ability.
Returns yakni hasil yang akan diperoleh oleh debitur, artinya perolehan
tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga,
ongkos-ongkos disamping membayar keperluan perusahaan yang lain
seperti untuk cash flow, kredit lain jika ada dan sebagainya. Repayment
yaitu kemampuan bayar dari pihak debitur. Perlu diperhatikan apakah
kemampuan bayar tersebut match dengan schedule pembayaran kembali
dari kredit yang diberikan itu. Risk Bearing ability atau kemampuan
menanggung resiko perlu diperhatikan sejauhmana kemampuan debitur
untuk menanggung resiko dalam hal-hal diluar antisipasi kedua belah
pihak.
Jika melihat beberapa prinsip yang telah dikemukakan diatas,
menurut hemat penulis prinsip 5-C yang dikemukakan lebih dahulu
telah mengcover prinsip 5-P dan 3-R yang diuraikan berikutnya. Jika
melihat ketentuan kredit yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
10 tahun 1998 tampak bahwa UU tersebut secara eksplisit telah
mencantumkan prinsip 5-C.
C. Sifat Perjanjian Kredit Bank
Jika menelaah bentuk-bentuk perjanjian baik dalam KUHD
maupun dalam KUH Perdata, maka tidak dapat ditemukan jenis
perjanjian kredit bank beserta pasal-pasal yang mengatur bentuk
hubungan hukum perjanjian atau Lembaga Peerjanjian Kredit Bank.
Oleh karena itu para pakar mengemukakan pendpatnya mengenai sifat
hukum, atau struktur hukum Perjanjian Kredit Bank.
Marhaenis Abdul Hay dalam bukunya Hukum Perdata yang
dikutif oleh Remy Syahdaeni96 berpendapat bahwa perjanjian kredit
mendekati pada pengertian perjanjian pinjam mengganti yang diatur
96 Sutan Remy Syahdaeni, Op.,Cit. Hal 155
165
dalam KUH Perdata. Pendapat ini lebih dietegaskan lagi dalam bukunya
Hukum Perbankan di Indonesia. Menurutnya bahwa perjanjian kredit
identik dengan perjanjian pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH
Perdata97.
Pendapat tersebut ditentang oleh Mariam Darus Badrulzaman98 tetapi
sebelum megemukakan pendapatnya Mariam Darus Badrulzaman
mengemukakan pendapat para pakar lain mengenai hal ini yaitu :
1. Pendapat Winedsheid
Menurutnya perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat
tangguh (condition Prestart), yang pemenuhannya bergantung pada
peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan
97 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal 28
98 Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal 30-35
166
megambil pinjaman itu , hal itu seperti yang diatur dalam Pasal 1253
KUH Perdata.
2. Goudekte
Perjanjiian kredit yang didalamnya terdapat perjanjian pinjam uang
adalah perjanjian yang bersifat konsensual (pactum decontranendo)
dan obligator. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai
dengan Pasal 1338 KUH Perdata.
3. Loseccat Vermeer
Loseccat Vermeer mengatakan bahwa pertama-tama pihak membuka
perjanjian dimana pihak yang meminjamkan berkewajiban untuk
menyerahkan uang dan pihak peminjam berkewajiban untuk
menerima uang. Pada saat itu diserahkan maka perjanjian itu
”beralih” dan perjanjian untuk meminjamkan uang menjadi
perjanjiian uang.
4. Asser Kleyn
Menurut Asser Kleyn perjanjiian pinjam uang selalu didahului oleh
perjanjian pendahuluan (voorovereen-komst), misalnya perjanjian
kredit. Perjanjian Kredit. Perjanjian Kredit adalah perjanjian
pendahuluan dari perjanjian pinjam uang.
Dari beberapa pendapat para pakar tersebut selanjutnya Mariam
darus Badrulzaman mengelompokkan menjadi dua kelompok :
1. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian
pinjam uang itu merupakan ”satu” perjanjian, sifatnya konsensual.
2. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian
pinjam uang merupakan ”dua” buah perjanjian yang masing-masing
bersifat konsen-sual”99dan riil100.
Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan
pemikirannya yaitu bahwa perjanjian kredit bank adalah perjanjian
pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjannian penyerahan uang.
99 Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi pada saat tercapainya kata
sepakat
100 Perjanjian riil adalah perjanjian dimana selain diperlukan kata sepakat juga
diperlukan penyerahan
secara nyata. Penyerahan disini bukan merupakan prestasi seperti dalam levering,
tetapi merupakan
unsur daripada perjannian ini.
167
Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara
pemberi dan penerima kredit.
Munir Fuady101 mengemukakan bahwa sifat perjanjian kredit
bukanlah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk pada Pasal 1754
KUH Perdata melainkan merupakan kelompok perjanjian umum (tidak
bernama) yang tunduk pada ketentuan-ketentuan umum tentang
perjnjian ditambah dengan ketentuan dalam pasal-pasal kontrak dan
kebiasaan dalam praktik yurisprudensi. Herlina mengemukakan bahwa
perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual, sedangkan
pengakuan utang merupakan perajanjian riil. Herlina membedakan
perjanjiann kredit dengan perjanjian pengakuan utang. Manurutnya
perjanjian pengakuan utang merupakan perjanjian riil karena
didalamnya dicantumkan klusule : ”….pihak pertama menyerahkan
uang sebesar Rp…..dan pihak kedua menerimanya”. Dalam hal ini
jelas bahwa uang telah diserahkan pada waktu akan ditandatangani.
Dari uraian diatas penulis sependapat dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Heerlina bahwa
perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan dari
perjanjian peminjaman uang yang mempunyai sifat konsensual. Sifat
perjanjian konsensual ini menimbulkan konsekuensi hubungan hukum
antara bank dengan nasabah debitur dan apabila terjadi sengketa antar
bank dengan nasabah, dapat dijadikan dasar lembaga hukum apa yang
akan dipakai sebagai dasar untuk menyelesaikannya.
Dengan sifat hukum perjanjian kredit bank seperti telah
diuraikan diatas, maka akan menimbulkan hubungan hukum yang
berbeda dengan bentuk hubungan hukum yang lahir dari perjanjian
pinjam mengganti atau perjanjian lainnya. Berbeda dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman yang melihat
terlebih dahulu sifat hukum perjanjian kredit bank sebelum
mengemukakan bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah
debitur sehingga dari sanalah akan dapat ditemukan upaya hukum
dalam menghadapi sengketa antara bank dengan nasabah debitur.
Mahkamah Agung, dari hasil penelitian Sutan Remy Syahdaeni
terhadap putusan-putusan Pengadilan Nageri, Pengadilan Tinggi dan
101 Munir Fuady, Op.,Cit. hal. 40
168
Mahkamah Agung termasuk Yurisprudensi Mahkamah Agung telah
bersikap apriori atau take if for granted bahwa hubungan hukum antara
bank dengan nasabah debitur adalah hubungan hukum verbruiklening
yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Remy Syahdaeni tidak sependapat dengan pendapat Mahkamah
Agung102 di atas dan juga tidak sependapat dengan Marhaenis Abdul
Hay bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjiann khusus (lex
specialis) dari perjanjian pinjam mengganti atau perjanjian pinjam
meminjam yang diatur Pasal 1754, karena menurutnya perjanjian
pinjam meminjam adalah perjanjian riil. Hal ini dapat dilihat dari bunyi
Pasal 1754 tersbut :
”pinjam meminjam ialah perjanjian yang menentukan bahwa
pihak pertama menyediakan sejumlah barang yang menghabis karena
pemakaian kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua
akan mengembalikan kepada pihak pertama barang yang sejenis dan
jumlah dalam keadaan yang sama pula”
Dengan melihat isi pasal tersebut, maka tampaklah bahwa
perjanjian pinjam meminjam merupakan perjanjian riil karena ada
syarat penyerahan sejumlah barang. Selanjutnya Remy membedakan
perjanjian kredit bank dengan perjanjian peminjaman uang seperti
dibawah ini :
Perjanjian Kredit Bank Perjanjian Peminjaman Uang
1. Bersifat Konsensual 1. Bersifat riil
2. Syarat mengenai pengunaan
pinjaman
Harus sesuai tujuan
2. Tujuan penggunaan pinjaman
bebas
3. Cara pengambilan pinjaman
tertentu (cek, perintah
pembayaran, pemindah bukuan)
3. Penyerahan pinjaman/Uang
secara kekaligus
102 Mengenai ini Remy Syahdaeni memberikan contoh putusan MA RI Nomor
4434/K/Pdt/1986 tanggal 20 Agustus 1988 yaitu putusan mengenai Sengketa
Perjanjian Kredit antar Bank Pasific Cabang Samarinda dengan debiturnya
Pengurus persero CV. Pelita Abadi
169
D. Klausul -klausul dalam Perjanjian Kredit Bank
Penyaluran kredit bank dilaksanakan dengan melalui beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan tersebut103 yaitu tahap analisis kredit
pemutusan pemberiannya, tahap pembuatan perjanjian kredit, tahap
pemantauan kredit dan tahap penyelamatan dan penagihan/penyelesaian
kredit. Ke empat tahap tersebut dalam istilah perbankan dinamakan
credit management. Dasar hukum pembuatan perjanjian Kredit terdapat
dalam Pasal 1 ayat 12 UU No. 7 Tahun 1992 yaitu bahwa kredit
diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain104. Kata persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam didalam definisi atau pengertian kredit sebagaimana
maksud di atas mempunyai beberapa maksud105 bahwa pembentuk
Undang-Undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit
bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur
yang berbentuk pinjam meminjam. Dengan demikian bagi hubungan
kredit bank berlaku buku ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan
bab ke tiga belas tentang pinjam meminjam KUH Perdata pada
khususnya.
Maksud lain dari pembentuk undang-undang yang dapat
disimpulkan dari bunyi Pasal 1 ayat (12) UU Perbankan 1992 itu ialah
bahwa pembentuk Undang-undang bermaksud untuk mengharuskan
hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Jika hanya
melihat isi ketentuan pasal 1 ayat (12) UU Perbankan 1992, tidak secara
tegas menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan
berdasarkan perjanjian tertulis, untuk itu harus dikaitkan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lain yaitu Instruksi
PresidiumKabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966
jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2 /649-
UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1996 dan Instruksi Presidium Kabinet
Ampera Nomor 10/EKIN2/1967 tanggal 6 Februari 1967 yang
103 Sutan Remy Syahdaeni. Credit Management, BUPLM, 22 Nopember 1995, hal 2
104 Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia, Panduan Dasar Legal Officer, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, hal.
149
105 Sutan Remy Syahdaeni, Op. Cit., hal. 80-81
170
menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apa pun,
bank-bank wajib mempergunakan/membuat akad perjanjnian kredit.
Mengenai isi perjanjian kredit bank yang ada pada saat ini masih
berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Namun pada
dasarnya prototipe suatu perjanjian kredit harus memenuhi 6 syarat
minimal, yaitu (1) Jumlah hutang, (2) besarnya bunga, (3) waktu
pelunasannya, (4) cara-cara pembayarannya, (5) klausule
opeisbearheid, dan (6) barang jaminan.106 Sependapat dengan hal
tersebut diatas Munir Fuady mengatakan bahwa isi dari suatu perjanjian
kredit terdapat variasi satu jenis kredit dengan kredit jenis lainnya,
besarnya uang pinjaman mempengaruhi klausule-klausule yang
dituangkan dalam perjanjian tersebut.Namun demikian ada beberapa
klausule penting dari perjanjian kredit yang kita dapati dalam hampir
semua jenis perjanjian kredit107 yaitu :
1. Definisi-definisi
Bagian ini sangat penting terutama bagi perjanjian kredit yang
bernilai besar. Istilah penting yang digunakan dalam perjanjian
disebutkan dan atau diterangkan di bagian ini. Persisnya isi bagian
definisi ini sangat bervariasi dari satu kontrak kredit kekontrak kredit
lainnya.
2. Pinjaman yang diberikan
Pada bagian ini dijelaskan tentang besarnya pinjaman atau
besarnya maksimum pinjaman,tujuan penggunaan uang pinjaman,
metode penarikan pinjaman oleh debitur, pembayaran kembali
pinjaman sebelum waktu (repayment), besarnya bunga dan lain
sebagainya.
106 Hasanuddin, Op. Cit., lihat Djumhana, Op., Cit., hal. 227
107 Munir Fuady, Op., Cit., bandingkan Djumhana, Op., Cit., hal 229-232
171
3. Biaya-biaya
Dalam bagian ini ditentukan biaya-biaya apa yang mesti
dikeluarkan, siapa yang mengeluarkannya baik berupa fee tertentu
maupun hanya sebagai kost saja.
4. Representasi dan Waransi (Representations & Warranties).
Pada bagian ini pihak debitur menjamin kebenaran dan
keabsahan dari beberapa corporate action, dokumen dan hal-hal lainnya
5. Affirmative Covenants
Bagian ini sering juga disebut dengan ”ketentuan afirmasi”
(affirmative covenants) berisikan hal-hal yang harus dilakukan oleh
debitur selama berlangsumgnya kontrak kredit.
6. Neative Covenants
Bagian ini berisi laangan-larangan bagi debitur selama
berlangsungnya perjanjian kredit, misalnya larangan untuk membuat
hutang baru, kecuali dalamkeadaan ordinary cause of bussiness, atau
larangan untuk menjadikan asset perusahaan sebagai jaminan hutang
untuk hutang-hutang lain.
7. Jaminan hutang
Pada bagian ini biasanya diatur jenis-jenis jaminan hutang yang
diberikan oleh debitur
untuk kredit yang bersangkutan, namun tentang rincian dari masingmasing
jaminan hutang tersebut draft dokumen jaminan hutang
diperinci dalam bagian lampiran perjanjian kredit yang bersangkutan.
8. Condition Presedent
Dalam bagian ini ditentukan hal-hal atau syarat-syarat apa saja
yang harus dipenuhi oleh debitur sebelum pemberian pinjaman
direalisasi. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur antra lain :
hal-hal yang disebutkan dalam bagian refresentasi dan waransi, tidak
boleh terjadi apa yang oleh perjanjian kredit yang bersangkutan
dikatagorikan sebagai kejadian-kejadian yang merupakan wanprestasi
(event of deault)
9. Event of Default
Seperti perjanjian lainnya biasa diperinci hal-hal yang bila
dilakukan oleh salah satu pihak, maka dikatakan wanprestasi dan
menyebabkan pihak lain dapat memutuskan perjanjian tersebut. Hal-hal
atau kejadian inilah yang disebut dengan istilah event of default antara
172
lain wanprestasi pembayaran (payment default), wanprestasi yang
berhubungan dengan hal-hal yang dilarang (covenant default),
wanpretasi karena perijinan (approval default), wanprestasi karena
kasus hukum (judgement default) dan lain-lain.
10. Klausule-klausule lainnya.
Bagian ini berisi ketentuan-ketentuan antara lain mengenai
pelepasan hak (waiver). bukti kelalaian, perubahan perjanjian
(amandemen), hukumyang berlaku (choice oflaw), pengadilan
berwenang (yuridiction) dan lain-lain.
Berkaitan dengan klausule-klausule lainnya seperti yang
tercantum dalam point 10 di atas berdasarkan hasil penelitian pada
beberapa bank di Bandung, Jakrata, Surabaya dan Semarang,
Djuhaendah Hasan mengatakan bahwa hampir pada semua daerah
penelitian para responden (bank) sering membuat klausula khusus
dalam perjanjian kredit (banker clause) antara lain berisi ketentuan
asuransi kredit, perjanjian asuransi benda objek jaminan, perjanjian
penjualan benda agunan dibawah tangan, kuasa hipotik, klausula
perubahan suku bunga, kuasa untuk menerima dan mengambilsertfikat
atas tanah yang dijaminka dari instansi (BPN).
Menurut Remy Syahdaeni dalam praktik perbankan sering kali
dijumpai klausul-klausul yang timpang karena perjanjian-perjanjian
kredit dengan pencantuman klausul yang lebih banyak mengatur hakhak
dan kewajiban-kewajiban nasabah debitur daripada secara
seimbangmengatur juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban bank108
E. Jaminan dalam Perjanjian Kredit Bank
a. Kedudukan jaminan dalam kredit bank
Perkembangan ekonomi dan perdagangan akan selalu diikuti
oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian kredit. Demi
keamanan pemberian kredit tersebut dalam arti piutang dari pihak
yangbmeminjamkanakan terjamin dengan adanya jaminan..109
Berkaitan dengan kredit yang disalurkan oleh bank, lembga jaminan
108 Sutan Remy Syahdaeni, Op., Cit., hal. 193
109 Purwahid Patrik dan Kushadi, Hukum Jaminan, edisi revisi Pusat Studi Hukum
Perdata dan Pembangunan, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang 1985, hal 2
173
mempunyai arti yang lebih penting lagi, hal ini dikarenakan kredit yang
diberikan oleh bank mengandung resiko. Oleh karena itu UU
Perbankan memberikan pengaturan bagi bank dalam hal penyaluran
kredit, baik dalam penegasan prinsip perkreditan, batasan pemberian
kredit sampai kepada sanksi bagi para pelaku pelanggaran ketentuan
perkreditan.
Mengenai pengertian jaminan, KUH Perdata maupun undangundang
lainnyatidak memberikan batasan, namun demikian pengaturan
tentang jaminan banyak tersebar dalam KUH perdata dan undangundang
lainnya, khususnya UU Perbankan No. 14 tahun 1967, UU
Perbankan No. 7 tahun 1992 yang diubah dengan UU No. 10 tahun
1998 dan UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Sutan Remy Syahdaeni melakukan analisa terhadap pengertian
jaminan dan agunan yang terdapat dalam UU Nomor 14 tahun 1967 dan
U No. 7 tahun 1992. UU No. 14 tahun 1967 mengenal istilah jaminan
tetapi tidak menenal istilah agunan. Menurutnya sebelum berlakunya
UU Perbankan tahun 1992, istilah agunan hanya dikenal sebagai istilah
teknis perbankan, bukan merupakan istilah hukum. Istilah hukum hanya
mengenal ”jaminan”
Dalam UU Perbankan tahun 1992 dikenal istilah Hukum yaitu
”jaminan” dan istilah teknis yaitu ”agunan”. Dalam UU ini jaminan
diberi arti yang berbeda dengan pengertian jaminan menurut UU No. 14
tahun 1967. UU No. 14 tahun 1967 memberikan arti jaminan sebagai
”agunan” sedangkan UU No. 7 tahun1992 memberikan arti jaminan
sebagai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dengan melihat arti jaminan diatas, maka pengertian jaminan
menurut UU No. 7 tahun 1992 berbeda dengan apa yang dimaksud dan
dikehendaki Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu :
”segala kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan
ada di kemudian hari, menjadi tanggungan bagi segala
perikatannya”
Bunyi pasal tersebut diatas merupakan salah satu asas dalam
hukum Perdata bahwa harta kekayaan debitur merupakan jaminan atas
segala perikatannya. Dengan adanya asas tersebut di atas, maka tidak
174
ada kredit yang tidak terjamin 110 karena semua harta kekayaan debitur
sekaligus menjadi jaminan bagi perikatannya dengan kreditur-kreditur
lain secara konkuren. Hanya menurut Sutan Remy Syahdaeni jika UU
Perbankan mengatur mengenai agunan kredit, yang menjadi tujuannya
adalah dimaksudkan bahwa agunan memberikan hak preferen kepada
debitur.
Lahirnya UU No. 7 tahun 1992 memberikan arah baru bagi
dunia perbankan nasional. Hal ini jika melihat dari sisi jaminan kredit
bank. Jika dalam UU No. 14 tahun 1967 terlihat bahwa perbankan
Indonesia sangat ”collateral oriented” karena secara eksplisit
ditegaskan dalam Pasal 24 bank umum tidak memberikan kredit tanpa
”jaminan”. Dalam UU No. 7 tahun 1992 ketentuan tersebit tidak
ditemukan. Namun demikian seperti terlihat dalam penjelasan Pasal 8
UU tersebut, yaitu : ”dalam pemberian kredit, bank umum wajib
mempunyai keyakinan atas kemampua dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya sesuai dengan uang yang diperjanjika. Hal ini
dikarenakan dalam pemberian kredit terkait suatu degree of risk, maka
bank akan berupaya melakukan langkah-langkah pengamanan kredit
yang bersifat technical, artinya dilakukan dengan tehnik dan cara-cara
yang intensif111.
Mengenai hal ini Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa
sarana dalam mengupayakan suatu pencegahan atau yang merupakan
upaya prefentif dalam perjanjian kredit yang sangat beresiko tinggi
tersebut salah satunya adalah dengan adanya jaminan atau agunan
(collateral) baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan yang
telah diberikan oleh pihak debitur yang akan menjadi pengaman.
Fungsi jaminan dalam pemberian kredit bank merupakan source
of the last resort bagi pelunasan kredit yang diberikan oleh bank kepada
nasabah debitur artinya, bila ternyata sumber utama pelunasan nasabah
debitur yang berupa hasil keuangan yang diperoleh dari usaha debitur
(first way out) tidak memadai, sebagaimana yang diharapkan, maka
hasil eksekusi dari jaminan itu (second way out) diharapkan menjadi
110 Sutan Remy Syahdaeni, Op., Cit., hal. 10
111 Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana bank, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hal
263
175
sumber pelunasan alternatif terakhir yang dapat diharapkan oleh bank
dari debitur tersebut.
b. Jenis-jenis jaminan dalam Perjanjian Kredit Bank
Menurut Subekti112, jaminan yang ideal adalah jaminan yang :
1. Dapat secara mudah membantu perolehankredit oleh pihak yang
membutuhkannya
2. Tidak melemahkan posisi (kekuatan) si penerima kredit untuk
meneruskan usahanya
3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu
apabila perlu, mudah diuangkan untuk melunasi utang si debitur.
Hasanuddin mengemukakan tentang syarat jaminan :113
1. Secured
Artinya jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya
secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga apabila kemudian hari terjadi wanprestasi dari
debitur, maka bank telah mempunyai alat
112 Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian kredit Menurut Hukum Indonesia,
Citra Adtya Bhakti, Bandung, 1991.
113 Hasanuddin, Op.,Cit., hal. 176
176
bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan suatu tindakan
hukum.
2. Marketable
Artinya apabila diperlukan, misalnya untuk kebutuhan
pelunasan kredit dapat dengan mudah diuangkan. Dalam literatur
dikenal Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan,114 selain dari
pembagian diatas, dalam praktik perbankan dikenal pembagian jaminan
pokok dan jaminan tembahan115.
a. Jaminan Pokok
Yaitu jaminan yang berupa suatu usaha yang berkaitan langsung
dengan kredit yang dimohon, dapat berarti suatu proyek, atau
prospek usaha debitur yang dibiayai oleh kreditur tersebut,
sedangkan yang dimaksud benda yang berkaitan dengan kredit yang
diomohon biasanya adalah benda yang dibiayai atau dibeli dengan
kredit yang dimohon.
b. Jaminan Tambahan
Yaitu jaminan yangbtidak berkaitan langsung dengan kredit yang
dimohon, jaminan tambahan dapat berupa jaminan kebendaan yang
objeknya adalah harta benda milik debitur maupun perorangan yaitu
kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.
Adapun jenis jaminan yang umumnya diterima bank berupa116
1. Personal Guarantee dari pihak ketiga
Dalam hal kredit diberikan kepada perusahaan yang dibentuk
perseroan terbats (PT), personal guarantes biasanya diminta dari
pengurus perusahaan atau dari pemegang saham
2. Corporate Guarantee dari perusahaan lain
Corporate Guarantee dapat diberikan oleh suatu perusahaan
induknya atau perusahaan lain di dalam grupnya. Dapat pula
diberikan oleh perusahaan lain.
114 Rasyi M. Wiraatmaja memberikan istilah jaminan yang bersifat materil dan yang
bersifat immaterial. Op.Cit.,hal 12. 21
115 Djuhaendah Hasan, Op., Cit., hal 206
116 Remy Syahdaeni, Op., Cit., hal 2
177
3. Jaminan Bank (Bank Guarantee) atau Standby L/C
4. Barang-barang tetap berupa proyek yang dibiayai atau barang-barang
tetap lainnya yang bukan menjadi objek pembiayaan, yang diikat
dengan hipotek atau creditverband.
5. Barang-barang bergerak berupa objek yang dibiayai yang bukan
menjadi objek pembiayaan, yang diikat secara gadai atau f.e.o.
termasuk di dalam hal ini adalah piutang dagang, tagihan kontraktor
kepada boowheer dan tagihan piutang lainnya yang biasanya
dilakukan dengan perjanjian cessie, juga termasuk di dalamh hal ini
adalah saham-saham perusahaan (yang telah go public) yang
biasanya diikat secara gadai.
6. Asuransi Kredit,misalnya asuransi kredit yang ditutup oleh PT
Asuransi Kredit Indonesia (PT Askrindo).
7. Asuransi atau transaksi yang dibiayai oleh bank, misalnya Asuransi
Ekspor ditutup oleh Asuransi Ekspor Indonesia (PT ASEI).

No comments :

Post a Comment