Semua pembahasan sebelumnya menunjukkan
bahwa "ruang tiga dimensi" tidak ada dalam kenyataan, dan merupakan praduga yang
sepenuhnya diilhami oleh persepsi, sehingga manusia menjalani hidup dalam
"ketiadaan ruang". Menyatakan sebaliknya berarti mempercayai mitos yang jauh
dari penalaran dan kebenaran ilmiah, karena tidak ada bukti absah tentang
keberadaan dunia tiga dimensi.
Kenyataan ini menyangkal asumsi pokok
filsafat materialis yang menjadi dasar teori evolusi bahwa materi bersifat
absolut dan abadi. Asumsi filsafat materialis lainnya adalah bahwa waktu juga
absolut dan abadi. Asumsi kedua ini sama tidak masuk akalnya dengan asumsi
pertama.
Persepsi tentang Waktu
Apa yang kita persepsikan sebagai waktu
sesungguhnya sebuah metode untuk membandingkan satu momen dengan momen lain. Ini
dapat dijelaskan dengan sebuah contoh. Misalnya, ketika seseorang memukul sebuah
benda, ia mendengar bunyi tertentu. Ketika ia memukul benda yang sama lima menit
kemudian, ia mendengar bunyi lagi. Orang tersebut merasakan jeda antara bunyi
pertama dengan bunyi kedua, dan menyebut jeda ini sebagai "waktu". Namun saat ia
mendengar bunyi kedua, bunyi pertama yang didengarnya tak lebih dari sebuah
imajinasi dalam pikirannya. Bunyi pertama hanyalah sepotong kecil informasi
dalam memori. Ia merumuskan konsep "waktu" dengan membandingkan momen yang
sedang dijalaninya dengan momen yang ada dalam memorinya. Jika perbandingan ini
tidak dilakukan, maka persepsi waktu pun tidak ada.
Sama halnya dengan seseorang yang
membuat perbandingan ketika ia melihat orang lain memasuki ruangan dan duduk di
kursi di tengah ruangan. Ketika orang tersebut duduk di kursi, citra yang
berkaitan dengan saat ia membuka pintu, masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke
kursi, disusun sebagai potongan-potongan informasi di dalam otak. Persepsi
tentang waktu terjadi ketika ia membandingkan kejadian orang yang duduk di kursi
dengan kumpulan informasi yang dimilikinya.
Singkatnya, waktu muncul sebagai hasil
perbandingan antara beberapa ilusi yang tersimpan di dalam otak. Bila seseorang
tidak memiliki memori, maka otaknya tidak dapat melakukan interpretasi seperti
itu sehingga persepsi tentang waktu tidak terbentuk. Alasan seseorang menyatakan
dirinya berumur 30 tahun hanyalah karena ia telah mengakumulasi informasi
berkaitan dengan 30 tahun tersebut di dalam otaknya. Bila memorinya tidak ada,
maka ia tidak akan berpikir tentang keberadaan periode yang telah berlalu dan ia
hanya akan mengalami "momen" tunggal yang sedang dijalaninya.
Penjelasan Ilmiah
tentang Ketiadaan Waktu
Kutipan penjelasan beberapa ilmuwan dan
cendekiawan berikut akan lebih menerangkan subjek ini. François Jacob, seorang
intelektual terkenal dan profesor bidang genetika penerima hadiah Nobel, dalam
bukunya Le Jeu des Possibles (Yang Mungkin dan Yang Aktual) menjelaskan
tentang waktu yang berjalan mundur:
Film yang diputar mundur memungkinkan kita membayangkan sebuah dunia di mana waktu berjalan mundur: sebuah dunia di mana susu memisahkan diri dari kopi, meloncat keluar dari cangkir dan masuk kembali ke dalam panci susu; di mana berkas-berkas cahaya dipancarkan dari dinding-dinding dan menyatu dalam sebuah pusat, bukannya memancar keluar dari sumber cahaya; di mana sebuah batu naik ke telapak tangan seseorang karena kerja sama menakjubkan dari banyak tetes air yang membuat batu tersebut keluar dari dalam air. Namun dalam dunia di mana waktu berjalan mundur, proses-proses di dalam otak dan cara memori kita mengumpulkan informasi pun mengikutinya. Hal serupa juga berlaku bagi masa lalu dan masa depan, dan bagi kita, dunia akan tampak seperti apa adanya.
Dunia tidak berjalan seperti dinyatakan
di atas karena otak kita tidak terbiasa dengan urutan kejadian demikian, dan
kita beranggapan bahwa waktu selalu bergerak ke depan. Bagaimanapun, anggapan
ini merupakan keputusan yang diambil di dalam otak sehingga bersifat relatif.
Sesungguhnya kita tidak pernah tahu bagaimana waktu mengalir, atau bahkan tidak
tahu apakah ia mengalir atau tidak. Semua ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah
fakta absolut melainkan hanya sebuah persepsi.
Fakta bahwa waktu bersifat relatif
didukung juga oleh ahli fisika terpenting di abad ke-20, Albert Einstein.
Lincoln Barnett, dalam bukunya The Universe and Dr. Einstein (Alam
Semesta dan Dr. Einstein), menulis:
Bersamaan dengan menyingkirkan konsep ruang absolut, Einstein sekaligus membuang konsep waktu absolut — aliran waktu universal yang tidak berubah, mengalir terus-menerus dari masa lalu tak terhingga ke masa depan yang tak terhingga. Sebagian besar ketidakjelasan yang meliputi Teori Relativitas berasal dari keengganan manusia untuk menyadari bahwa pengertian waktu, seperti juga pengertian warna, adalah sebuah bentuk persepsi. Sebagaimana ruang hanyalah suatu susunan objek-objek material yang mungkin, waktu juga hanyalah susunan kejadian-kejadian yang mungkin. Subjektivitas waktu paling tepat dijelaskan dengan kata-kata Einstein sendiri. "Pengalaman-pengalaman individu," katanya, "kita lihat sebagai rangkaian berbagai kejadian; dalam rangkaian ini, kejadian tunggal yang kita ingat terurut sesuai dengan kriteria 'lebih dulu' dan 'kemudian'. Oleh karena itu setiap individu akan memiliki 'waktu-saya' atau waktu subjektif. Waktu ini, dengan sendiri-nya, tidak dapat diukur. Saya, tentu saja, dapat menghubungkan angka-angka dengan kejadian-kejadian sedemikian rupa sehingga angka terbesar melambangkan kejadian terkini dan bukan dengan kejadian lebih awal.
Einstein sendiri menunjukkan, seperti yang dikutip dari
buku Barnett: "ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi tidak terpisahkan
dari kesadaran, seperti halnya konsep warna, bentuk atau ukuran". Menurut Teori
Relativitas Umum: "eksistensi waktu tidak dapat dipisahkan dari urutan kejadian
yang kita gunakan untuk mengukurnya."
Karena waktu terdiri atas persepsi, maka
waktu bergantung sepenuhnya pada orang yang merasakannya. Karena itulah waktu
bersifat relatif.
Kecepatan waktu mengalir akan berbeda berdasarkan acuan yang digunakan untuk mengukurnya, karena tubuh manusia tidak memiliki jam alami yang dapat menentukan secara tepat kecepatan waktu berjalan. Seperti yang ditulis Lincoln Barnett: "Sebagaimana tidak ada warna bila tak ada mata untuk melihatnya, tidak ada pula ukuran sesaat, sejam atau sehari bila tak ada kejadian untuk menandainya."
Relativitas waktu dapat dialami secara
sederhana di dalam mimpi. Walaupun apa yang kita lihat dalam mimpi tampaknya
berlangsung berjam-jam, sesungguhnya hanya berlangsung beberapa menit, atau
bahkan beberapa detik.
Mari kita lihat sebuah contoh untuk
memperjelas masalah ini. Bayangkan kita dimasukkan ke dalam ruangan dengan
sebuah jendela yang dirancang khusus, dan kita berada di sana selama waktu
tertentu. Ruangan tersebut dilengkapi sebuah jam sehingga kita dapat mengetahui
berapa lama waktu yang telah kita lewati. Pada saat yang sama kita dapat melihat
matahari terbit dan tenggelam pada selang waktu tertentu. Beberapa hari
kemudian, untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama kita telah berada di
dalam ruangan tersebut, kita akan mengacu pada informasi yang telah kita
kumpulkan dengan melihat jam dari waktu ke waktu serta perhitungan berapa kali
matahari telah terbit dan tenggelam. Misalnya, kita memperkirakan, tiga hari
sudah kita lalui di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, jika orang yang
memasukkan kita ke dalam ruangan itu mengatakan bahwa kita hanya menghabiskan
dua hari di sana, dan bahwa matahari yang terlihat dari jendela adalah
manipulasi simulasi mesin dan jam yang berada di ruangan telah diatur untuk
berjalan lebih cepat, maka perhitungan yang telah kita lakukan menjadi tidak
berarti.
Contoh ini menegaskan bahwa informasi
yang kita miliki tentang laju waktu hanyalah berdasarkan acuan relatif.
Relativitas waktu adalah fakta ilmiah yang telah dibuktikan melalui metodologi
ilmiah. Teori Relativitas Umum Einstein menyatakan bahwa kecepatan perubahan
waktu tergantung pada kecepatan benda tersebut dan jaraknya dari pusat
gravitasi. Begitu kecepatan meningkatnya, waktu menjadi lebih singkat dan
termampatkan; dan melambat sehingga bisa dikatakan "berhenti".
Hal ini diperjelas dengan contoh dari Einstein. Bayangkan
dua saudara kembar: salah seorang tinggal di bumi sementara yang lainnya pergi
ke luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika penjelajah
luar angkasa ini kembali ke bumi, ia akan mendapati saudaranya menjadi lebih tua
daripada dirinya. Hal ini terjadi karena waktu berjalan lebih lambat bagi orang
yang bepergian dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Hal yang sama terjadi
pula pada seorang ayah penjelajah luar angkasa dan anaknya yang berada di bumi.
Jika pada saat pergi, sang ayah berumur 27 tahun dan anaknya berumur 3 tahun;
ketika sang ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan
berumur 33 tahun tetapi sang ayah masih berumur 30 tahun!
Harus digarisbawahi bahwa relativitas
waktu tidak disebabkan oleh perlambatan atau percepatan jam, atau perlambatan
pegas mekanis alat penghitung waktu. Relativitas ini merupakan hasil perbedaan
waktu operasi sistem materi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya
partikel-partikel sub atom. Dengan kata lain, bagi yang mengalaminya,
perlambatan waktu bukan berarti menjalani kejadian seperti dalam film gerak
lambat. Dalam keadaan di mana waktu memendek, detak jantung, replikasi sel,
fungsi otak dan segala sesuatunya berjalan lebih lambat daripada manusia yang
bergerak di bumi. Orang tersebut akan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa
menyadari sama sekali adanya pemendekan waktu. Pemendekan waktu tersebut tak
akan terlihat jelas, sampai dilakukan perbandingan.
Relativitas dalam Al Quran
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
modern membawa kita pada kesimpulan bahwa waktu tidak bersifat absolut seperti
anggapan materialis, tetapi merupakan persepsi relatif. Sangat menarik bahwa
fakta yang baru terungkap oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20 ini, telah
disampaikan dalam Al Quran kepada manusia 14 abad yang lalu.
Waktu adalah persepsi psikologis yang
dipengaruhi oleh peristiwa, tempat dan kondisi. Fakta yang telah dibuktikan
secara ilmiah ini dapat kita temukan pada banyak ayat Al Quran. Sebagai contoh,
Al Quran menyatakan bahwa masa hidup seseorang sangat pendek:
Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Israa', 17: 52)Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari; (di waktu itu) mereka akan saling berkenalan. (QS. Yunus, 10: 45)
Beberapa ayat menunjukkan bahwa manusia
merasakan waktu secara berbeda dan kadang-kadang manusia bisa menganggap suatu
periode yang sangat pendek sebagai periode yang sangat panjang. Contoh yang
tepat adalah dialog antara beberapa manusia yang terjadi di saat pengadilan
mereka di hari kiamat:
Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al Mu'minuun, 23: 112-114)
Dalam beberapa ayat lainnya, Allah
menyatakan bahwa di tempat yang berbeda, waktu dapat mengalir dengan cara
berbeda pula:
Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-sekali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. Al Hajj, 22: 47)Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (QS. Al Ma'aarij, 70: 4)
Ayat-ayat ini mengungkapkan dengan jelas
perihal relativitas waktu. Fakta yang telah disampaikan kepada manusia sekitar
1.400 tahun yang lalu ini baru dimengerti oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20.
Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran diturunkan oleh Allah, Dia yang meliputi
seluruh ruang dan waktu.
Banyak ayat Al Quran lainnya menunjukkan
bahwa waktu adalah persepsi. Hal ini terlihat jelas terutama dalam kisah-kisah
Al Quran. Sebagai contoh, Allah telah membuat Ashhabul Kahfi (Penghuni-penghuni
Gua) — sekelompok orang beriman yang disebutkan dalam Al Quran — tertidur lelap
selama lebih dari tiga abad. Ketika terbangun, mereka mengira telah tertidur
sebentar tetapi tidak dapat memastikan berapa lama:
Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al Kahfi, 18: 11-12)Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui…" (QS. Al Kahfi, 18: 19)
Keadaan yang diceritakan dalam ayat di
bawah ini juga membuktikan bahwa sesungguhnya waktu adalah persepsi psikologis.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah berkata, "Berapa lamakah engkau tinggal di sini?" Dia berkata, "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman, "Sebenarnya engkau telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah makanan dan minumanmu yang tidak tampak berubah; dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunya kembali, kemudian kami menutupinya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), diapun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah, 2: 259)
Ayat di atas dengan jelas menekankan
bahwa Allah-lah yang menciptakan waktu, dan keberadaan-Nya tidak terbatasi oleh
waktu. Di sisi lain, manusia dibatasi oleh waktu yang ditakdirkan Allah.
Sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas, manusia bahkan tidak mampu mengetahui
berapa lama ia tertidur. Dalam keadaan seperti ini, menyatakan bahwa waktu
adalah absolut (sebagaimana dikatakan materialis) merupakan hal yang tidak masuk
akal.
Takdir
Relativitas waktu memperjelas sebuah
permasalahan yang sangat penting. Relativitas sangat bervariasi. Apa yang bagi
kita tampak seperti bermiliar-miliar tahun, mungkin dalam dimensi lain hanya
berlangsung satu detik. Bahkan, bentangan periode waktu yang sangat panjang dari
awal hingga akhir dunia, dalam dimensi lain hanya berlangsung sekejap.
Ini adalah intisari dari konsep takdir —
sebuah konsep yang belum dipahami dengan baik oleh kebanyakan manusia, khususnya
materialis yang jelas-jelas mengingkari hal tersebut. Takdir adalah pengetahuan
sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu atau masa depan.
Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang
belum terjadi, dan ini membuat mereka gagal memahami kebenaran takdir. "Kejadian
yang belum terjadi" hanya belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat ruang
ataupun waktu, karena Dialah pencipta keduanya. Oleh sebab itu, masa lalu, masa
mendatang, dan sekarang, seluruhnya sama bagi Allah; bagi-Nya segala sesuatu
telah berjalan dan telah selesai.
Dalam The Universe and Dr. Einstein, Lincoln
Barnett menjelaskan bagaimana Teori Relativitas Umum membawa kita kepada
kesimpulan di atas. Menurut Barnett, alam semesta "dengan seluruh keagungannya
hanya dapat dicakupi oleh sebuah intelektual kosmis." 6 Kehendak yang disebut Barnett sebagai "intelektual
kosmis" tak lain adalah ketetapan dan pengetahuan Allah yang berlaku bagi
seluruh alam semesta. Allah memahami waktu yang berlaku pada diri kita dari awal
hingga akhir sebagai kejadian tunggal, sebagaimana kita dapat melihat awal,
tengah dan akhir sebuah mistar beserta semua unitnya sebagai satu kesatuan.
Manusia mengalami kejadian hanya bila saatnya tiba, dan mereka menjalani takdir
yang telah Allah tetapkan atas mereka.
Perlu diperhatikan pula kedangkalan dan
penyimpangan pemahaman masyarakat tentang takdir. Mereka berkeyakinan bahwa
Allah telah menentukan "takdir" setiap manusia, tetapi takdir ini terkadang
dapat diubah oleh manusia itu sendiri. Sebagai contoh, orang akan mengomentari
seorang pasien yang kembali dari gerbang kematian dengan pernyataan seperti "ia
telah mengalahkan takdirnya". Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang dapat
mengubah takdirnya. Orang yang kembali dari gerbang kematian tidak mati karena
ia ditakdirkan tidak mati saat itu. Mereka yang mengatakan "saya telah
mengalahkan takdir saya" berarti telah menipu diri sendiri. Takdir mereka
pulalah sehingga mereka berkata demikian dan mempertahankan pemikiran seperti
itu.
Takdir adalah pengetahuan abadi
kepunyaan Allah, Dia yang memahami waktu sebagai kejadian tunggal dan Dia yang
meliputi keseluruhan ruang dan waktu. Bagi Allah, segalanya telah ditentukan dan
sudah selesai dalam sebuah takdir. Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan dalam Al
Quran, kita juga dapat memahami bahwa waktu bersifat tunggal bagi Allah.
Kejadian yang bagi kita terjadi di masa mendatang, digambarkan dalam Al Quran
sebagai kejadian yang telah lama berlalu. Sebagai contoh, ayat-ayat yang
menggambarkan manusia menyerahkan catatan amalnya kepada Allah di akhirat kelak,
mengungkapkan kejadian tersebut sebagai peristiwa yang telah lama terjadi:
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangka-kala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dirugikan... Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahanam berombong-rombongan... (QS. Az Zumar, 39: 73)
Ayat lainnya mengenai masalah ini
adalah:
Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi. (QS. Qaaf, 50: 21)Dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. (QS. Al Haaqqah, 69: 16)Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera. Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. (QS. Al Insan, 76: 12-13)Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. (QS. An Naazi'aat, 79: 36)Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir. (QS. Al Muthaffifiin, 83: 34)Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya dan mereka tidak menemukan tempat berpaling daripadanya. (QS. Al Kahfi, 18: 53)
Terlihat bahwa peristiwa yang akan
terjadi setelah kematian kita (dari sudut pandang manusia) dibicarakan dalam Al
Quran sebagai peristiwa yang sudah selesai dan telah lama berlalu. Allah tidak
terbatasi kerangka waktu relatif yang membatasi kita. Allah menghendaki semua
ini dalam ketiadaan waktu; manusia sudah selesai melakukannya, seluruh peristiwa
telah dilalui dan telah berakhir. Dalam ayat di bawah ini disebutkan bahwa
setiap kejadian, kecil maupun besar, seluruhnya berada dalam pengetahuan Allah
dan tercatat dalam sebuah kitab:
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam sebuah kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus, 10: 61)
Kekhawatiran Materialis
Topik tentang kebenaran yang mendasari
materi, ketiadaan waktu dan ketiadaan ruang telah dengan sangat jelas dibahas
dalam bab ini. Seperti dinyatakan sebelumnya, ini bukan sebuah filsafat atau
cara berpikir, namun merupakan kebenaran nyata yang tidak mungkin diingkari.
Selain merupakan kenyataan teknis, bukti-bukti rasional dan logis pun membawa
kita kepada satu-satunya alternatif: alam semesta beserta seluruh zat yang
membangunnya dan seluruh manusia yang hidup di dalamnya, merupakan sebuah ilusi.
Semuanya merupakan kumpulan persepsi.
Materialis mengalami kesulitan memahami
hal di atas. Sebagai contoh, mari kita tinjau kembali perumpamaan bis Politzer:
meskipun secara teknis Politzer tahu bahwa ia tidak dapat keluar dari
persepsinya, ia hanya mengakuinya untuk beberapa kasus tertentu. Bagi Politzer,
peristiwa berlangsung di dalam otak hingga bis menabraknya. Namun segera setelah
tabrakan terjadi, segalanya keluar dari otak dan menjadi realitas fisik. Pada
tahap ini kecacatan logikanya sangat jelas: Politzer telah melakukan kesalahan
yang sama seperti filsuf materialis Johnson yang mengatakan "Saya tendang batu,
kaki saya sakit, karena itulah batu itu ada". Politzer tidak dapat memahami
bahwa rasa sakit yang dirasakan setelah tabrakan bis semata-mata adalah persepsi
juga.
Alasan dasar mengapa materialis tidak
dapat memahami permasalahan ini adalah ketakutan mereka terhadap fakta harus
hadapi setelah memahaminya. Lincoln Barnett menggambarkan bagaimana beberapa
ilmuwan "melihat" permasalahan ini:
Bersamaan dengan pereduksian para filsuf atas seluruh
realitas objektif menjadi dunia maya yang dibangun oleh persepsi, ilmuwan
menyadari keterbatasan-batasan yang menakutkan dari indra manusia.
Acuan apa pun yang menyatakan bahwa
materi dan waktu hanya persepsi sangat menakutkan bagi seorang materialis,
karena hanya itulah pegangannya sebagai makhluk absolut. Pada tingkat tertentu,
ia mempertuhankan materi dan waktu; karena berkeyakinan bahwa ia telah
diciptakan oleh materi dan waktu (melalui evolusi).
Ketika ia menyadari bahwa segala sesuatu
— alam semesta tempatnya hidup, dunia, tubuhnya sendiri, orang-orang lain,
filsuf materialis lain yang telah mempengaruhi pemikirannya, dan lain-lain —
adalah persepsi, ia merasa sangat ketakutan. Segala sesuatu yang diandalkan,
dipercayai, dan ditujunya, secara tiba-tiba menghilang. Ia merasakan putus asa;
hal yang sesungguhnya akan dirasakannya pula pada hari perhitungan dalam arti
sebenarnya, seperti yang digambarkan ayat "Dan mereka
menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka
apa yang selalu mereka ada-adakan." (QS. An Nahl, 16: 87).
Sejak itulah materialis ini mencoba
meyakinkan diri tentang kenyataan materi, dan membuat-buat "bukti" untuk tujuan
ini. Ia memukulkan tangan ke dinding, menendang batu, berteriak, mencemooh,
namun tidak pernah bisa lepas dari kenyataan.
Sebagaimana mereka ingin menyingkirkan
kenyataan ini dari pikiran, mereka juga ingin orang lain melakukan hal serupa.
Mereka sadar bahwa apabila khalayak umum mengetahui sifat sejati materi,
keterbelakangan filsafat dan kebodohan pandangan dunia mereka akan terungkap
sehingga tidak ada landasan lagi untuk merasionalisasikan pemikiran mereka.
Ketakutan ini menyebabkan mereka sangat terganggu oleh fakta yang dibicarakan di
sini.
Allah menyatakan bahwa ketakutan
orang-orang yang tidak percaya tersebut akan semakin bertambah pada hari kiamat.
Pada hari pengadilan, mereka akan mengalami hal sebagai berikut:
Dan (ingatlah), hari
yang di waktu itu Kami menghimpun; mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada
orang-orang musyrik, "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan
(sekutu-sekutu Kami)?" (QS. Al An'aam, 6: 22)
Setelah itu, mereka akan menyaksikan
segala kekayaan, anak-anak, dan lingkungan terdekat yang dianggap nyata dan
dijadikan sekutu bagi Allah, meninggalkan mereka dan menghilang. Kenyataan ini
Allah ungkapkan dalam ayat "Lihatlah, bagaimana mereka telah
berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka
sembahan-sembahan yang dulu mereka ada-adakan.." (QS. Al An'aam, 6: 24).
Keuntungan Orang-Orang Beriman
Sementara materialis gelisah dengan
fakta bahwa materi dan waktu hanya persepsi, hal sebaliknya terjadi pada
orang-orang yang beriman. Mereka yang beriman menjadi senang ketika memahami
rahasia di balik materi, karena kenyataan ini adalah kunci bagi segala
pertanyaan. Dengan kunci ini, semua rahasia terbuka. Mereka akan dengan mudah
memahami berbagai hal yang sebelumnya sukar dipahami.
Seperti telah dikatakan sebelumnya,
pertanyaan tentang kematian, surga, neraka, hari kiamat, perubahan dimensi, dan
pertanyaan penting seperti "Di manakah Allah?", "Apa yang ada sebelum Allah?",
"Siapa yang menciptakan Allah?", "Berapa lamakah kehidupan dalam kubur?", dan
"Di manakah surga dan neraka?" akan mudah terjawab. Orang-orang beriman akan
mengerti bagaimana Allah menciptakan seluruh alam semesta dari ketiadaan. Begitu
pahamnya, sehingga dengan rahasia ini pertanyaan "kapan" dan "di mana" menjadi
tidak berarti karena karena tidak ada lagi ruang dan waktu. Ketika ketiadaan
ruang dipahami, akan dimengerti bahwa neraka, surga dan bumi sesungguhnya adalah
tempat yang sama. Bila ketiadaan waktu dipahami, akan dimengerti bahwa segala
sesuatu terjadi pada suatu momen tunggal: tidak ada yang perlu ditunggu dan
waktu tidak berjalan, karena segalanya telah terjadi dan telah selesai.
Dengan terpahaminya rahasia ini, dunia
bagaikan surga bagi orang-orang beriman. Segala kekhawatiran, kecemasan dan
ketakutan material akan hilang. Manusia beriman akan memahami bahwa seluruh alam
semesta memiliki satu Penguasa, bahwa Dialah yang mengubah seluruh dunia fisik
menurut kehendak-Nya, dan yang harus ia lakukan hanya kembali kepada-Nya.
Manusia ini kemudian sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah, "menjadi hamba yang saleh" (QS. Ali Imran, 3: 35).
Memahami rahasia ini adalah keberuntungan terbesar di dunia.
Dengan rahasia ini, akan terungkap
kenyataan penting lainnya yang disebutkan di dalam Al Quran bahwa "Allah lebih dekat kepadanya dari-pada urat lehernya
sendiri" (QS. Qaaf, 50: 16). Sebagaimana diketahui setiap manusia, urat
leher berada di dalam tubuh. Apa yang dapat lebih dekat kepada seseorang selain
yang ada di dalam tubuhnya sendiri? Keadaan ini dapat dijelaskan dengan realitas
ketiadaan ruang. Ayat ini juga akan lebih mudah dimengerti setelah memahami
rahasia tersebut.
Inilah kebenaran nyata. Manusia harus
benar-benar yakin bahwa tidak ada penolong dan pemberi selain Allah. Tidak ada
satu pun selain Allah; Dialah satu-satunya yang nyata, tempat manusia mencari
perlindungan, memohon pertolongan dan mengharapkan balasan.
Ke mana pun kita menghadapkan wajah, di
sanalah Allah hadir.
Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah, 2: 32)
No comments :
Post a Comment