Belum lepas dari ingatan kita
ketika krisis 1997 memporakporandakan hampir seluruh sendi perekonomian
Indonesia. Krisis keuangan Asia atau di Indonesia lebih dikenal dengan
nama Krisis Moneter (krismon) itu, berawal di Thailand pada bulan Juli.
Krisis ini membawa dampak yang sangat besar terhadap nilai tukar, bursa
saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia.
Hingga Juli 1997 itu, hampir semua pihak
mengamini bahwa Indonesia sangat kecil kemungkinannya untuk terimbas
krisis. Bayangkan saja, waktu itu fundamental ekonomi Indonesia
menunjukkan tingkat inflasi yang rendah, surplus perdagangan mencapai
lebih dari USD900 juta, cadangan devisa yang sangat besar, lebih dari
USD20 milyar, dan sektor perbankan dengan kinerja yang sangat baik.
Tapi siapa sangka sebulan setelah itu ekonomi
kita terkena imbasnya juga. Gejolak diawali dengan kejatuhan nilai tukar
rupiah terhadap USD. Akibatnya, banyak bank mulai ditimpa kerugian,
terutama bank yang punya pinjaman dalam mata uang asing dan tidak
melakukan lindung nilai atas pinjamannya. Gejolak kurs yang ditambah
dengan pemburukan arus kas bank-bank menyebabkan bank menghadapi
kesulitan likuiditas. Masalah likuiditas ini mengakibatkan bank
kehilangan kepercayaan sehingga masyarakat ramai-ramai menarik uangnya
secara besar-besaran dari bank. Puluhan bank harus ditutup dengan
konsekuensi perekonomian bisa lumpuh total. Oleh karena itu, upaya
penyelamatan adalah pilihan yang diambil ketika itu. Namun ongkos yang
harus dibayar juga tidak sedikit karena jumlah bank yang harus
diselamatkan juga banyak.
Berangkat dari pengalaman krisis 1997 itulah,
manakala krisis global melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa,
Pemerintah dan BI proaktif melakukan tindakan pencegahan. Beberapa
ketentuan perbankan direlaksasi untuk menghindari runtuhnya sistem
keuangan dan perbankan. Tindakan ini dilakukan agar dana nasabah di bank
aman sehingga masyarakat tidak perlu benbondong-bongdong ke bank
menarik dananya. Hasilnya, rush tidak terjadi, sistem perbankan tetap
aman dan perekonomian bisa terbebas dari ancaman krisis. Memang ada
ongkos dari tindakan itu, namun pastinya tidak akan sebesar bila krisis
global sampai menghantam ekonomi Indonesia.
Penerbitan buku “Krisis Global dan Penyelamatan
Sistem Perbankan” ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada
masyarakat mengenai duduk soal diambilnya kebijakan penyelamatan
perbankan ketika terjadi krisis global 2008 lalu. Latar belakang,
kronologi kebijakan hingga upaya penyelamatan sistem perbankan diangkat
dalam buku ini.
Dilandasi komitmen untuk memberikan informasi
kepada masyarakat, buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas mengenai upaya penyelamatan sistem perbankan ketika itu.
Jakarta, Januari 2010
Humas Bank Indonesia
Humas Bank Indonesia
No comments :
Post a Comment