Kamis, 12 September 2013 09:45 wib
Ilustrasi. (Foto: Okezone)
Pada akhir bulan kemarin, Dewan Gubernur BI memang telah menerapkan kenaikan BI rate sebesar 50 basis poin (bps) ke 7 persen, akhir bulan kemarin. Hal ini lantaran pergerakan nilai tukar Rupiah yang terus mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Masalahnya, suku bunga acuan di kisaran 6,5 persen dianggap tidak menarik bagi para investor untuk menambatkan dana mereka di perbankan dalam negeri, lantaran tingginya inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Selain sentimen dalam negeri, langkah Bank Sentral AS The Federal Reserve yang akan memangkas stimulus sebesar USD85 miliar per bulan, juga membuat mata uang Negeri Paman Sam makin perkasa.
Dalam rapat kali ini, para analis memperkirakan BI rate akan tetap ditahan di kisaran 7 persen. BI diduga menahan Rupiah di harga tinggi, agar eksportir mendapatkan keuntungan berlipat.
Hal ini sejalan dengan empat paket kebijakan pemerintah yang diterapkan, agar defisit neraca dagang yang terjadi dapat terkikis. Dengan tingginya harga dolar AS, diharapkan pengusaha swasta dapat menekan impor dan utang luar negeri. Tapi jangan lupa, Indonesia juga harus melakukan impor minyak, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Selain itu, Indonesia masih harus membayar utang luar negeri yang tidak sedikit. Meski demikian, utang luar negeri Indonesia dinilai masih aman, melihat cadangan devisa yang kemarin sedikit mengalami kenaikan. Lalu, akankah BI akan tetap mempertahankan suku bunganya, guna memaksa Rupiah menguat, atau BI rate akan ditahan demi mendongkrak impor?
No comments :
Post a Comment